Selasa, 30 Agustus 2011

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432 H

Kemenangan yg hakiki adlh ktika kualitas & ketaqwaan qt meningkat pasca Ramadhn. Dan kesuksesan Ramadhn akn trjawab dg sikap qt hari ini & 11 bulan yg akan dtng. Slmt merayakan kemenangan dg linangan air mata penyesalan kerna kepergian Ramahan dg pakaian taqwa & jubah ketawadu'an.
Taqobbalallahu minna waminkum...
.:: Mohon maaf lahir bathin... Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432 H ::.



Jumat, 26 Agustus 2011

Hidup Tenang Bersama Allah

Tenang...
Tenangnya hati tidak boleh dibeli dengan wang ringgit,
Tenangnya jiwa tidak boleh dipinjam oleh sesiapa,
Tenangnya akal tidak dapat di capai dengan kekusutan dunia.

Tenangnya bersama Allah,
Ketika aku tidur, Engkau selalu jaga dan melihatku lena,
Ketika aku sakit, Engkau menghapus segala dosa-dosa yang lama,
Ketika aku sesat, Engkau tarik aku kembali ke jalan-Mu,
Ketika aku sujud, Engkau hadirkan ketenangan dan harapan yang baru.

Tenangnya bersama Allah,
Engkau penjagaku setiap masa,
Memerhati setiap gerak geriku,
Mengabulkan doa-doa ku,
Dan membuat ku rasa selamat.

Tenangnya bersama Allah,
Bila keyakinan terhadap Mu telah tinggi,
Maka aku tidak takut lagi,
Tidak takut untuk mencari-Mu ketika aku susah,
Tidak lupa untuk memuji-Mu ketika aku senang,
Dan tidak sanggup untuk aku mengulangi dosa dan maksiat lama.

Tuhanku,
Aku rasa tenang bersama-Mu,
Dan aku ingin kembali untuk bertemu dengan-Mu,
Dalam keadaan yang Engkau redhai,
Kabulkanlah doa ini, Ya Rabb...

Bacaan Al Qur'an yg Menenangkan Hati



Cobaan Itu Tanda Kasih Sayang Allah



Mengapa terkadang ditengah kebahagiaan hidup kita tiba-tiba Allah memberikan cobaan dalam hidup kita? Karena ditengah kebahagiaan itulah kita seringkali lengah. Itulah sebabnya kita diingatkan oleh Allah agar senantiasa bersyukur apapun nikmat yang Allah berikan kepada kita. Demikian juga seorang laki-laki muda yang baginya kebahagiaan dan kesedihan bercampur baur menjadi satu. Kebahagiaan itu hadir ketika putra yang selama ini diidamkan telah lahir sementara kesedihan yang dirasakan karena dirinya bersama istri dan buah hatinya masih tetap tinggal dikontrakan.  Bahkan nyaris dirinya dan keluarganya hampir terusir dari kontrakan karena nunggak dua bulan. Ditambah lagi usaha yang dijalankan sedang seret. Hanya dekat dengan Allah saja yang membuat hatinya menjadi tenang. Tekanan hidup yang begitu berat telah menyebabkan dirinya mencari Allah, meski pernah marah kepada Allah, tidak membuatnya sampai menghalalkan apapun untuk mencari nafkah untuk keluarganya. Kesabarannya memang sedang benar-benar diuji.

Pukulan iman berikutnya terjadi, anaknya jatuh sakit, dipagi hari badannya panas. Bergegas dibawanya ke puskesmas. Dokter bilang terkena muntaber dan harus rawat inap. Dalam hatinya menjerit melihat istrinya menangis tersedu-sedu merasakan bagaiaman perihnya hati istri yang dicintainya. 'Kuatkan hati hambaMu ini Ya Allah.' Air matanya bercucuran. Menahan rasa sakit dihatinya. Namun semuanya mampu dilaluinya. Bergegas dirinya ke Rumah Amalia, berdoa bersama memohon kepada Allah untuk kesembuhan bagi anak yang dicintainya. Disaat dirinya benar-benar hancur. Disitulah Allah campur tangan yang semakin membuatnya dekat dengan Allah melalui cobaan ini. Alhamdulillah, dua hari kemudian anaknya sembuh dari muntaber dan boleh pulang.

Seminggu kemudian datang kakaknya membawa kabar gembira untuknya dan keluarganya, kakaknya menawari menempati rumah sederhana yang baru dibeli. Sekalipun rumahnya kecil namun cukup untuk ditempati. Semua itu membuat gembira bagi dirinya juga istrinya. Kesabarannya telah berbuah manis. Cobaan yang bertubi-tubi telah membuatnya semakin yakin atas Kasih Sayang Allah kepada dirinya dan keluarganya. Kesabaran itu begitu terasa indah. Usahanya kios Jual Beli Hape & Pulsa lebih maju. Sang buah hatinya sehat, istrinya lebih bahagia dan hatinya lebih tenang karena tidak lagi bingung untuk membayar kontrakan tiap bulannya sehingga bisa menabung untuk masa depannya yang lebih baik.. "Sekarang saya justru semakin dekat dengan Allah dan bersyukur bisa berbagi di Rumah Amalia yang membuat hidup kami sekeluarag menjadi lebih bahagia. " tuturnya.

'Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberi rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. (QS. ath-Thalaq : 2-3).

Wassalam,

Shalat 'Ied

1. Sutrah (pembatas shalat) bagi imam

Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju lapangan pada hari raya, beliau memerintahkan untuk menancapkan bayonet di depan beliau, kemudian beliau shalat menghadap ke benda tersebut. (H.r. Al-Bukhari)


2. Shalat Idul Fitri dua rakaat

Umar bin Khaththab mengatakan, “Shalat Jumat dua rakaat, shalat Idul Fitri dua rakaat, shalat Idul Adha dua rakaat ….” (H.r. Ahmad dan An-Nasa’i; dinilai sahih oleh Al-Albani)


3. Shalat dilaksanakan sebelum khotbah

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma; beliau mengatakan, “Saya mengikuti shalat id bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, dan Utsman radhiallahu ‘anhum. Mereka semua melaksanakan shalat sebelum khotbah.” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)


4. Takbir ketika shalat Idul Fitri

Takbiratul ihram di rakaat pertama lalu membaca doa iftitah, kemudian bertakbir tujuh kali. Di rakaat kedua, setelah takbir intiqal, berdiri dari sujud, kemudian bertakbir lima kali.

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika Idul Fitri dan Idul Adha; di rakaat pertama sebanyak tujuh kali takbir dan di rakaat kedua sebanyak lima kali takbir selain takbir rukuk di masing-masing rakaat.” (H.r. Abu Daud dan Ibnu Majah; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Dari Abdullah bin Amr bin Ash, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takbir ketika shalat Idul Fitri: tujuh kali di rakaat pertama dan lima kali di rakaat kedua, dan ada bacaan di masing-masing rakaat.” (H.r. Abu Daud dan At-Turmudzi; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Al-Baghawi mengatakan, “Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat maupun orang-orang setelahnya. Mereka bertakbir ketika shalat id: di rakaat pertama tujuh kali –selain takbiratul ihram– dan di rakaat kedua lima kali –selain takbir bangkit dari sujud–. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu bakar, Umar, Ali … radhiallahu ‘anhum ….” (Syarhus Sunnah, 4:309; dinukil dari Ahkamul Idain, karya Syekh Ali Al-Halabi)


5. Mengangkat tangan ketika takbir tambahan

Syekh Ali bin Hasan Al-Halabi mengatakan, “Tidak terdapat riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengangkat kedua tangan setiap takbir shalat id.” (Ahkamul Idain, hlm. 20)

Akan tetapi, terdapat riwayat dari Ibnu Umar bahwa beliau mengangkat kedua tangan setiap takbir tambahan shalat id. (Zadul Ma’ad, 1:425)

Al-Faryabi menyebutkan riwayat dari Al-Walid bin Muslim, bahwa beliau bertanya kepada Imam Malik tentang mengangkat tangan ketika takbir-takbir tambahan. Imam Malik menjawab, “Ya, angkatlah kedua tanganmu setiap takbir tambahan ….” (Riwayat Al-Faryabi; sanadnya dinilai sahih oleh Al-Albani)

Keterangan:
Takbir tambahan: Takbir sebanyak 7 kali pada rakaat pertama, dan sebanyak 5 kali pada rakaat kedua.


6. Zikir di sela-sela takbir tambahan

Syekh Ali bin Hasan Al-Halabi mengatakan, “Tidak terdapat riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang zikir tertentu di sela-sela takbir tambahan.” (Ahkamul Idain, hlm. 21)

Meski demikian, terdapat riwayat yang sahih dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu; beliau menjelaskan tentang shalat id, “Di setiap sela-sela takbir tambahan dianjurkan membaca tahmid dan memuji Allah.” (H.r. Al-Baihaqi; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Ibnul Qayyim mengatakan, “Disebutkan dari Ibnu Mas’ud bahwa beliau menjelaskan, ‘(Di setiap sela-sela takbir, dianjurkan) membaca hamdalah, memuji Allah, dan bersalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.’” (Zadul Ma’ad, 1:425)


7. Bacaan ketika shalat Idul Fitri

Setelah selesai bertakbir tambahan, membaca ta’awudz, membaca Al-Fatihah, kemudian membaca surat dengan kombinasi berikut:

Surat Qaf di rakaat pertama dan surat Al-Qamar di rakaat kedua.
Surat Al-A’la di rakaat pertama dan surat Al-Ghasyiyah di rakaat kedua.
Semua kombinasi tersebut terdapat dalam riwayat Muslim, An-Nasa’i, dan At-Turmudzi.


8. Tata cara shalat Idul Fitri selanjutnya

“Tata cara shalat id selanjutnya sama dengan shalat lainnya, tidak ada perbedaan sedikit pun.” (Ahkamul Idain, hlm. 22)

Disusun oleh Ustadz Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).


I'TIKAF

TA’RIEF (DEFINISI) I’TIKAF

Ditinjau dari segi bahasa : I’tikaf bermakna :berdiam di suatu tempat untuk melakukan sesuatu pekerjaan ; yang baik maupun yang buruk dan tetap dalam keadaan demikian.

Adapun pengertian i’tikaf menurut istilah adalah berdiam di masjid dalam rangka ibadah dari orang yang tertentu, dengan sifat atau cara yang tertentu dan pada waktu yang tertentu (Lihat Fathul Bari 4 : 344)


DALIL-DALIL DISYARIATKANNYA I’TIKAF


Firman Allah سبحانه وتعلى
وَلاَ تُـبَاشِرُوْهُنَّ وَأَنْـتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ البقرة : 187

“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid”(QS. Al Baqarah : 187)

dalam hadits ‘Aisyah رضي الله عنها berkata :

“Adalah Nabi صل اللة عليه وسلم beri’tikaf sepuluh akhir dari bulan Ramadhan hingga beliau diwafatkan oleh Allah سبحانه وتعلى”. (HR. Bukhari dan Muslim)

HUKUM I’TIKAF


A. Telah sepakat ulama kita bahwa hukum asal dari i’tikaf adalah sunnah, bahkan Imam Ibnu ‘Arabi Al Maliki dan Ibnu Baththal رحمهما الله memasukkannya ke dalam sunnah muakkadah (yang dikuatkan) karena Rasulullah صل اللة عليه وسلم tidak pernah meninggalkannya selama hidupnya.

Dan hukum asal ini berubah menjadi wajib jika seseorang bernazar untuk melakukannya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar رضي الله عنه bahwasanya beliau pernah bernazar untuk beri’tikaf satu malam di masjid Haram, maka Rasulullah صل اللة عليه وسلم bersabda :

أَوْفِ بِنَذْرِكَ

“Tunaikan nazarmu itu”. HR. Bukhari dan Muslim

B. Hukum i’tikaf ini berlaku baik untuk muslim ataupun muslimah sebagaimana yang kabarkan oleh Shafiyyah رضي الله عنها ketika beliau menziarahi Nabi صل اللة عليه وسلم pada saat i’tikaf :

“Adalah Nabi صل اللة عليه وسلم (beri’tikaf) di masjid dan di sisinya terdapat istri-istri beliau (sedang beri’tikaf pula)…”. HR. Bukhari dan Muslim

Al Imam Ibnul Mundzir رحمه الله berkata: “Perempuan tidak boleh beri’tikaf hingga dia meminta izin kepada suaminya dan jika perempuan itu beri’tikaf tanpa izin maka suaminya boleh mengeluarkannya (dari i’tikaf). Dan jika seorang suami telah mengizinkan (istrinya) lalu mau mencabut izinnya maka hal itu dibolehkan baginya”. (Lihat Fathul Bari 4 : 351)

FADHILAH (KEUTAMAAN) I'TIKAF

Adapun fadhilahnya maka i’tikaf mempunyai beberapa keutamaan yang tidak terdapat pada ibadah lainnya, diantaranya:

1.I’tikaf merupakan wasilah (cara) yang digunakan oleh Nabi صل اللة عليه وسلم untuk mendapatkan malam Lailatul Qadr

2.Orang yang melakukan i’tikaf akan dengan mudah mendirikan shalat fardhu secara kontinu dan berjamaah bahkan dengan i’tikaf seseorang selalu beruntung atau paling tidak berpeluang besar mendapatkan shaf pertama pada shalat berjama’ah

3.I’tikaf juga membiasakan jiwa untuk senang berlama-lama tinggal dalam masjid, dan menjadikan hatinya terpaut pada masjid

4.I’tikaf akan menjaga puasa seseorang dari perbuatan-perbuatan dosa. Dia juga merupakan sarana untuk menjaga mata dan telinga dari hal-hal yang diharamkan

5. Dengan I'tikaf membiasakan hidup sederhana, zuhud dan tidak tamak terhadap dunia yang sering membuat kebanyakan manusia tenggelam dalam kenikmatannya.

WAKTU I’TIKAF

I’tikaf boleh dikerjakan kapan saja, namun lebih ditekankan pada bulan Ramadhan, karena itulah yang sering dilakukan oleh Rasulullah صل اللة عليه وسلم. Dan lebih utama dikerjakan pada sepuluh akhir Ramadhan untuk mendapatkan Lailatul Qadr sebagaimana yang ditunjukkan hadits Abu Sa’id Al Khudri رضي الله عنه .

I’tikaf yang wajib harus dikerjakan sesuai jumlah hari yang telah dinazarkan, sedangkan i’tikaf yang sunnah tidak ada batasan maksimalnya dan hal ini disepakati oleh keempat ulama madzhab, dan jumhur ulama berpendapat bahwa tidak ada batasan minimal ketika beri’tikaf hal ini berdasarkan atsar dari Umar رضي الله عنه dimana beliau mengabarkan kepada Nabi صل اللة عليه وسلم tentang nazar beliau untuk beri’tikaf satu malam di masjid Haram, lalu Rasulullah صل اللة عليه وسلم memerintahkan kepadanya untuk menunaikan nazarnya. Imam Nawawi رحمه الله mengatakan : “Boleh seseorang beri’tikaf sesaat dan dalam waktu yang singkat…”. (Al Minhaj 8 : 307)

Telah ikhtilaf ulama kita tentang kapan awal masuknya seseorang yang mau beri’tikaf ke dalam masjid. Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang memulai i’tikaf hendaknya memasuki masjid sebelum matahari terbenam. Pendapat yang kedua mengatakan, bahwa i’tikaf baru dimulai sesudah shalat shubuh, berdasarkan hadits ‘Aisyah رضي الله عنها:

“Adalah Nabi صل اللة عليه وسلم jika hendak beri’tikaf, beliau shalat shubuh kemudian masuk ke (mu'takaf) tempat i’tikafnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Pendapat ini dipegangi oleh Al Auza’iy, Al Laits dan Ats Tsauri serta dipilih oleh Al Hafizh Ibnu Hajar dan Al Imam Ash Shon’ani - رحمهم الله –

Dari dua pendapat yang ada maka yang paling dekat dengan dalil adalah pendapat yang kedua, yaitu masuk sesudah shalat shubuh, namun pendapat yang pertama lebih berhati-hati. Wallahu A’lam.


SYARAT-SYARAT I’TIKAF

Orang yang beri’tikaf memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhinya yaitu:
Seorang muslim, mumayyiz (sudah mampu membedakan yang baik dan buruk),berakal, dan suci dari janabat, haidh, serta nifas.


RUKUN-RUKUN I’TIKAF

1. Niat, karena tidak sah suatu amalan melainkan dengan niat.

2. Tempatnya harus di masjid. Dalilnya firman Allah سبحانه وتعلى yang artinya:

“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid” (QS. Al Baqarah : 187)
Keharusan beri’tikaf di masjid ini berlaku pula untuk wanita, dalam hal ini merupakan pendapat Jumhur Ulama bahwa wanita tidak sah beri’tikaf di masjid rumahnya karena tempat itu tidaklah dikatakan masjid, lagi pula keterangan yang shahih menerangkan bahwa istri-istri Nabi صل اللة عليه وسلم melakukan i’tikaf di masjid Nabawi.

Dan berkata Al Hafizh Ibnu Hajar-rahimahullah- tentang i’tikafnya istri-istri Nabi صل اللة عليه وسلم di masjid : “Hal ini menunjukkan disyariatkannya i’tikaf di masjid, karena seandainya tidak, tentu para istri-istri Nabi صل اللة عليه وسلم akan beri’tikaf di rumah-rumah mereka karena mereka telah diperintahkan untuk berlindung atau berdiam di rumah”. (Fathul Bari 4 : 352)


MASJID YANG SAH DIPAKAI I’TIKAF

Para ulama telah berikhtilaf tentang syarat masjid yang sah untuk di gunakan i’tikaf namun diantara pendapat-pendapat yang ada maka pendapat yang pertengahan dan paling dekat dengan kebenaran adalah I'tikaf harus dilaksanakan di masjid yang dilaksanakan shalat berjama’ah padanya karena shalat berjama’ah bagi laki-laki hukumnya wajib. Hal ini berdasarkan atsar ‘Aisyah رضي الله عنها yaitu:

“Tidak ada i’tikaf kecuali di masjid yang dilaksanakan shalat berjama’ah”. (HR. Ad Daraqutni dan Al Baihaqi)

Pendapat ini dipegangi pengikut madzhab Abu Hanifah dan Imam Ahmad serta perkataan Hasan Al Bashri dan ‘Urwah bin Zubair رحمهم الله . Ibnu Qudamah رحمه الله menjelaskan:“Disyaratkannya i’tikaf di masjid yang dilaksanakan shalat jama’ah, karena shalat jama’ah itu wajib, dan ketika seseorang beri'tikaf di masjid yang tidak dilaksanakan shalat jama’ah akan mengakibatkan salah satu dari dua hal : meninggalkan shalat jama’ah yang merupakan kewajiban, yang kedua keluar untuk shalat di masjid yang dilaksanakan shalat berjama’ah dan hal ini akan sering berulang padahal masih mungkin untuk menghindarinya, dan sering keluar dari tempat i’tikaf itu bertentangan dengan maksud/tujuan i’tikaf …”. (Al Mughni 4 : 461)

Jika seseorang i’tikaf di masjid jama’ah yang tidak dilaksanakan shalat Jum’at maka pada hari Jumat wajib atasnya untuk keluar shalat Jum’at dan i’tikafnya tidak batal karena dia keluar disebabkan udzur yang dibenarkan syariat dan hal tersebut hanya sekali dalam sepekan, dan ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Said bin Jubair, Hasan Al Bashri, Ibrahim An Nakhaaiy, Imam Ahmad, Ibnul Mundzir, Dawud Azh Zhohiri, Ibnu Qudamah, dan lain-lain رحمهم الله .


HAL-HAL YANG MEMBATALKAN I’TIKAF

1. Jima’ (bersetubuh/ bersenggama).
Dalilnya firman Allah سبحانه وتعلى yang artinya:

“Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid”(QS. Al Baqarah : 187)

2. Murtad.

3. Hilang akal

4. Haidh dan Nifas

5. Keluar dari masjid tanpa hajat yang dibolehkan, walaupun hanya sebentar. Keluar dari masjid membatalkan i’tikaf karena tinggal di masjid adalah rukun i’tikaf.


ADAB-ADAB I’TIKAF

Ada beberapa adab yang hendaknya seseorang yang beri’tikaf memperhatikannya dan berusaha untuk melaksanakannya. Diantara adab-adab tersebut adalah :

1. Memperbanyak ibadah-ibadah sunnah yang mendekatkan dirinya kepada Allah سبحانه وتعلى.

2.Membuat bilik-bilik di masjid untuk digunakan berkhalwat sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi صل اللة عليه وسلم , terutama jika ada wanita yang ikut beri’tikaf, maka wajib atas wanita untuk membuat bilik-bilik tersebut agar terhindar dari ikhtilat (bercampur) dan saling pandang-memandang dengan lawan jenis.

3.Meninggalkan perdebatan dan pertengkaran walaupun dia berada di pihak yang benar

4.Juga hendaknya menghindari dari mengumpat, berghibah, dan berkata-kata yang kotor, karena hal-hal tersebut terlarang di luar i’tikaf maka pelarangannya bertambah pada saat i’tikaf.

5.Dan secara umum seluruh perbuatan dan perkataan yang tidak bermanfaat hendaknya ditinggalkan, karena semua hal itu akan mengurangi pahala beri’tikaf


HAL-HAL YANG DIBOLEHKAN SEWAKTU I’TIKAF

1. Keluar untuk suatu keperluan yang tidak dapat dielakkan.
Dalilnya hadits Aisyah رضي الله عنها ia berkata :

“Dan adalah Rasulullah صل اللة عليه وسلم jika sedang beri’tikaf di masjid, kadang beliau memasukkan kepalanya maka saya menyisirnya dan adalah beliau tidak masuk ke rumah kecuali karena kebutuhan yang manusiawi”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Malik رحمه الله berkata : “Tidaklah seseorang dikatakan beri’tikaf hingga dia meninggalkan hal-hal yang harus dia tinggalkan seperti menjenguk orang sakit, shalat jenazah, dan masuk ke rumah kecuali ada hajat insan

Imam Az Zuhri رحمه الله menafsirkan hajat insan (kebutuhan yang manusiawi) sebagai kencing dan buang air besar, dan kedua hal ini merupakan ijma’ tentang bolehnya keluar masjid disebabkan kedua hal tersebut sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mundzir رحمه الله.

2.Menyisir rambut, mencukurnya, memotong kuku dan membersihkan badan dari berbagai kotoran”.(Lihat :Ma’alim As Sunan 2 : 578)
3. Membawa kasur dan perlengkapan lainnya ke masjid.

4. Menerima tamu dan mengantarkannya hingga ke pintu masjid. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah صل اللة عليه وسلم ketika beliau diziarahi oleh istri beliau Shofiyyah .

5. Makan dan minum di dalam masjid dengan tetap memelihara dan menjaga kebersihan dan kemuliaan masjid.


KHATIMAH

Seseorang yang berniat untuk beri’tikaf hendaknya mempertimbangkan maslahat dan mudharat. Jika dia adalah seorang pemuda yang sangat dibutuhkan oleh orang tuanya maka hendaknya dia mendahulukan hak orang tuanya karena hal tersebut wajib, namun jika dia diizinkan untuk beri’tikaf maka itulah yang utama. Demikian pula dengan orang yang bekerja di bidang jasa dan kepentingan masyarakat umum hendaknya mendahulukan kepentingan umum dari kepentingan pribadi dan sungguh Allah سبحانه وتعلى Maha Mengetahui apa yang diniatkan oleh hamba-hamba-Nya.

Adapun bagi mereka yang Allah سبحانه وتعلى muliakan dengan memberikan kesempatan untuk beri’tikaf di tahun ini hendaknya memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, raihlah hikmah dan faidah i’tikaf, perhatikanlah adab-adabnya serta jauhkanlah dari hal-hal yang terlarang dan janganlah menjadi orang yang i’tikafnya tidak ubahnya dari sekedar berpindah tempat tidur saja. Mudah-mudahan dengan i’tikaf ini anda bisa mendapatkan malam yang lebih mulia dari seribu bulan : “Lailatul Qadr". (Al Fikrah)

Rabu, 24 Agustus 2011

i'tikaf di Sultan Haji Ahmad Shah Mosque | International Islamic University Malaysia


Bismillah….. Ramadhan sudah hampir mengakhiri hari-harinya di 1432 Hijrah kali ini. Menjelang akhir Ramadhan seperti ini, manusia biasanya terbagi menjadi dua golongan dengan kesibukannya masing-masing. Ada yg sibuk memperbanyak ibadahnya di hari2 terakhir Ramadhan contonya dengan melakukan I’tikaf di Masjid, ada juga yang sibuk dengan berbelanja mempersiapkan hari Raya ‘Idul Fitri. Padahal di penghujung Ramadhan terdapat banyak sekali keutamaan yang tidak kita dapati pada bulan-bulan yang lain.

Seperti biasanya di sepuluh terakhir Ramadhan ini, selepas Shalat subuh saya dan jama’ah lainnya manyibukkan diri membaca Al Qur’an ada juga yang berdzikir pagi hari (Ma’tsurat). Ketika sedang membaca Al Qur’an saya terusik dengan suara bacaan Al Qur’an dari lantai 3 dan 4 Masjid.

Namun setelah di cermati dengan seksama ternyata itu adalah suara anak-anak yg sedang membaca Al Qur’an. Ya…itu adalah suara anak-anak yang sedang mengaji. Mereka berlomba2 untuk mengkhatamkan bacaan Al Qur’an mereka di Bulan Suci Ramadhan ini.



Oh iya… ternyata mereka semua adalah peserta I’tikaf juga lho… Suasana yang jarang terlihat pada banyak tempat. Ya tidak ramai di zaman sekarang ini orang tua yang mengajak anaknya untuk I’tikaf di Masjid atau Sekolah yang mengadakan program I’tikaf untuk siswa-siswinya. Namun di Masjid Sultan Haji Ahmad Shah IIUM kita bisa melihat semua itu. Ya.. kumpulan dari orang tua sampai kanak-kanak yangg ikut memakmurkan Masjid dan memanfaatkan hari2 terkhir Ramadhan 1432 H.

Ramai juga lho orang dari luar daerah Gombak Selangor yang sengaja datang untuk I’tikaf di Masjid ini. Satu yang lain dari I’tikaf di Masjid ini adalah kita bisa berkumpul dengan saudara-saudara Muslim bukan dari Bangsa Melayu saja tapi dari berbagai Negara.

Selain karena mereka adalah Student asing yg tidak pulang ke Negara asal mereka, banyak juga warga asing yg bukan student tapi sengaja datang untuk i’tikaf di masjid ini. Memang benar kata sebagaian kawan, bahwa Masjid SHAS IIUM akan menyimpan kerinduan tersendiri. Tak sedikit dari pelajar asing yang rindu pada Masjid SHAS IIUM ketika mereka sudah pulang ke Negara asal mereka. Itu saja yg dapat saya sharing pada kawan-kawan di pagi yang indah ini. Semoga ada manfaatnya…


Jom kawan2 kita ramaikan Masjid dg I’tikaf pada penghujung Ramadhan 1432H kali ini.

Mungkin ini adalah ramadhan yang terkhir untukku dan untukmu.

Wassalam. IIUM Mosque 25/8/2011.







Selasa, 23 Agustus 2011

Bolehkah Wanita Haid Membaca Al-Quran?


Tanya:

Assalamu’alaikum, Pak Ustadz mau tanya:

Bagaimana adab-adab membaca Al Quran, apakah wanita yang sedang berhalangan/haid boleh membaca Al Quran?
Dan apakah tanpa wudhu juga boleh membaca Al Quran? Terima kasih atas jawabannya. Wassalamu’alaikum

(Bu Elly, Pontianak)
Jawab:

Wa’alaikumsalam.

Pertama:

Diantara adab-adab membaca Al-Quran:

1. Membaca ta’awwudz (a’udzu billahi minasysyaithanirrajim).

Allah ta’alaa berfirman:






(فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ) (النحل:98)

“Apabila kamu membaca al-Qur’an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (Qs. 16:98)

2. Membaca Al-Quran dengan tartil (sesuai dengan kaidah-kaidah tajwid).

Allah ta’alaa berfirman:

(وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلاً) (المزمل:4)

“Dan bacalah al-Qur’an itu dengan tartil.” (Qs. 73:4)

3. Hendaklah dalam keadaan suci.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إني كرهت أن أذكر الله إلا على طهر

“Sungguh aku membenci jika aku berdzikir kepada Allah dalam keadaan tidak suci.” (HR. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albany)

4. Membersihkan mulut sebelum membaca Al-Quran dengan siwak atau sikat gigi atau yang lain.

Berkata Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:

إن أفواهكم طرق للقرآن . فطيبوها بالسواك

“Sesungguhnya mulut-mulut kalian adalah jalan-jalan Al-Quran, maka wangikanlah mulut-mulut kalian dengan siwak.” (Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albany di Shahih Ibnu Majah 1/110-111).

5. Memilih tempat yang bersih.

6. Hendaknya merenungi apa yang terkandung di dalam Al-Quran.


Allah ta’ala berfirman:

(أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلافاً كَثِيراً) (النساء:82)

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Qs. 4:82)

7. Memohon rahmat Allah jika melewati ayat-ayat rahmat dan meminta perlindungan dari kejelekan ketika melewati ayat-ayat adzab.

Di dalam hadist Hudzaifah disebutkan bahwa suatu saat beliau shalat malam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau menceritakan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Al-Quran ketika shalat:

إذا مر بآية فيها تسبيح سبح وإذا مر بسؤال سأل وإذا مر بتعوذ تعوذ

“Jika melewati ayat yang di dalamnya ada tasbih (penyucian kepada Allah) maka beliau bertasbih, dan jika melewati ayat tentang permintaan maka beliau meminta, dan jika melewati ayat tentang memohon perlindungan maka beliau memohon perlindungan.” (HR. Muslim)

8. Tidak membaca Al-Quran dalam keadaan mengantuk.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إذا قام أحدكم من الليل فاستعجم القرآن على لسانه فلم يدر ما يقول فليضطجع

“Kalau salah seorang dari kalian shalat malam kemudian lisannya tidak bisa membaca Al-Quran dengan baik (karena mengantuk) dan tidak tahu apa yang dikatakan maka hendaklah dia berbaring.” (HR. Muslim)
(Lihat pembahasan lebih luas di At-Tibyan fii Aadaab Hamalatil Quran, An-Nawawy, dan Al-Itqan fii ‘Ulumil Quran, As-Suyuthi (1/276-299), Al-Burhan fii ‘Ulumil Quran, Az-Zarkasyi (1/449-480).

Kedua:

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah wanita yang haid boleh membaca Al-Quran atau tidak? Dan yang kuat –wallahu a’lam- diperbolehkan bagi wanita yang sedang haid untuk membaca Al-Quran karena tidak adanya dalil yang shahih yang melarang.

Bahkan dalil menunjukkan bahwa wanita yang haid boleh membaca Al-Quran, diantaranya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha yang akan melakukan umrah akan tetapi datang haid:

ثم حجي واصنعي ما يصنع الحاج غير أن لا تطوفي بالبيت ولا تصلي

“Kemudian berhajilah, dan lakukan apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji kecuali thawaf dan shalat.” (HR.Al-Bukhary dan Muslim, dari Jabir bin Abdillah)

Berkata Syeikh Al-Albany:

فيه دليل على جواز قراءة الحائض للقرآن لأنها بلا ريب من أفضل أعمال الحج وقد أباح لها أعمال الحاج كلها سوى الطواف والصلاة ولو كان يحرم عليها التلاوة أيضا لبين لها كما بين لها حكم الصلاة بل التلاوة أولى بالبيان لأنه لا نص على تحريمها عليها ولا إجماع بخلاف الصلاة فإذا نهاها عنها وسكت عن التلاوة دل ذلك على جوازها لها لأنه تأخير البيان عن وقت الحاجة لا يجوز كما هو مقرر في علم الأصول وهذا بين لا يخفى والحمد لله

“Hadist ini menunjukkan bolehnya wanita yang haid membaca Al-Quran, karena membaca Al-Quran termasuk amalan yang paling utama dalam ibadah haji, dan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membolehkan bagi Aisyah semua amalan kecuali thawaf dan shalat, dan seandainya haram baginya membaca Al-Quran tentunya akan beliau terangkan sebagaimana beliau menerangkan hukum shalat (ketika haid), bahkan hukum membaca Al-Quran (ketika haid) lebih berhak untuk diterangkan karena tidak adanya nash dan ijma’ yang mengharamkan, berbeda dengan hukum shalat (ketika haid). Kalau beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Aisyah dari shalat (ketika haid) dan tidak berbicara tentang hukum membaca Al-Quran (ketika haid) ini menunjukkan bahwa membaca Al-Quran ketika haid diperbolehkan, karena mengakhirkan keterangan ketika diperlukan tidak diperbolehkan, sebagaimana hal ini ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh, dan ini jelas tidak samar lagi, walhamdu lillah.” (Hajjatun Nabi hal:69).

Namun jika orang yang berhadats kecil dan wanita haid ingin membaca Al-Quran maka dilarang menyentuh mushhaf atau bagian dari mushhaf, dan ini adalah pendapat empat madzhab, Hanafiyyah (Al-Mabsuth 3/152), Malikiyyah (Mukhtashar Al-Khalil hal: 17-18), Syafi’iyyah (Al-Majmu’ 2/67), Hanabilah (Al-Mughny 1/137).

Mereka berdalil dengan firman Allah ta’alaa:

لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ (الواقعة: 79)

“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci.”

Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mushaf yang kita dilarang menyentuhnya adalah termasuk kulitnya/sampulnya karena dia masih menempel. Adapun memegang mushhaf dengan sesuatu yang tidak menempel dengan mushhaf (seperti kaos tangan dan yang sejenisnya) maka diperbolehkan.

Berkata Syeikh Bin Baz:

يجوز للحائض والنفساء قراءة القرآن في أصح قولي العلماء ؛ لعدم ثبوت ما يدل على النهي عن ذلك بدون مس المصحف، ولهما أن يمسكاه بحائل كثوب طاهر ونحوه، وهكذا الورقة التي كتب فيها القرآن عند الحاجة إلى ذلك

“Boleh bagi wanita haid dan nifas untuk membaca Al-Quran menurut pendapat yang lebih shahih dari 2 pendapat ulama, karena tidak ada dalil yang melarang, namun tidak boleh menyentuh mushhaf, dan boleh memegangnya dengan penghalang seperti kain yang bersih atau selainnya, dan boleh juga memegang kertas yang ada tulisan Al-Quran (dengan menggunakan penghalang) ketika diperlukan” (Fatawa Syeikh Bin Baz 24/344).

Ketiga:
Yang lebih utama adalah membaca Al-Quran dalam keadaan suci, dan boleh membacanya dalam keadaan tidak suci karena hadats kecil.

Dan ini adalah kesepakatan para ulama.

Berkata Imam An-Nawawy:

أجمع المسلمون على جواز قراءة القرآن للمحدث الحدث الاصغر والأفضل أن يتوضأ لها

“Kaum muslimin telah bersepakat atas bolehnya membaca Al-Quran untuk orang yang tidak suci karena hadats kecil, dan yang lebih utama hendaknya dia berwudhu.” (Al-Majmu’, An-Nawawy 2/163).

Diantara dalil yang menunjukan bolehnya membaca Al-Quran tanpa berwudhu adalah hadist Ibnu Abbas ketika beliau bermalam di rumah bibinya Maimunah radhiyallahu ‘anha (istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), beliau berkata:

فنام رسول الله صلى الله عليه و سلم حتى إذا انتصف الليل أو قبله بقليل أو بعده بقليل استيقظ رسول الله صلى الله عليه و سلم فجلس يمسح النوم عن وجهه بيده ثم قرأ العشر الخواتم من سورة آل عمران

“Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur sampai ketika tiba tengah malam, atau sebelumnya atau sesudahnya, beliau bangun kemudian duduk dan mengusap muka dengan tangan beliau supaya tidak mengantuk, kemudian membaca sepuluh ayat terakhir dari surat Ali Imran.” (HR.Al-Bukhary)

Di dalam hadist ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca Al-Quran setelah bangun tidur, sebelum beliau berwudhu.
Imam Al-Bukhary telah meletakkan hadist ini di beberapa bab di dalam kitab beliau (Shahih Al-Bukhary) diantaranya di bawah bab:

باب قراءة القرآن بعد الحدث وغيره

“Bab Membaca Al-Quran setelah hadats dan selainnya”

Namun sekali lagi, tidak boleh bagi orang yang berhadats kecil menyentuh mushaf secara langsung.

Wallahu a’lam.

Ustadz Abdullah Roy, Lc.

Senin, 22 Agustus 2011

Ramadhanku

Ramadhan Kariim... Bulan Suci yg Penuh dg keutamaan dan Kemuliaan...
Shaum-nya yg membuat jiwa semakin Tawadhu, Qiyam Ramadhan-nya yg membuat hati semakin tenang... i'tikaf-nya yg memperat ukhuwwah kini hanya menyisakan ± 9 hari lagi... dia akan pergi dan tak ada jaminan kita kan berjumpanya kembali... mungkin ini adalah Ramadhan yg terakhir untukku dan untukkmu... Sahabat, mari gunakan kesempatan yg tersisa beberapa hari ini untuk benar2 beribadah mencapai Lailatul Qadar dan keridhaan Allah... Semoga tiap tetesan air mata yg tercurah di Ramadhan ini menjadi cahaya kebaiakan kita di akhirat kelat...

Brosur Kampoeng Inggris, Pangkep Sulawesi Selatan






Shalat bersama Imam Cilik Toha Al Junaid





Minggu, 21 Agustus 2011

10 Bersaudara ini Hafal Al-Qur’an

Siapa yang menyangka bila 10 putra pasangan H Mutammimul Ula (Ustadz Tammim) dan Wirianingsih (Ibu Wiwi), ternyata bisa menjadi penghapal Alquran alias Hafizh. Pada Sabtu (28/8) lalu, keluarga ini mengikuti undangan DPD PKS Jambi.

Kedua pasangan suami istri tersebut mendidik dan membina kepribadian putra-putrinya dengan kebaikan akhlak, perilaku Qurani, anggota keluarga tidak pernah lepas untuk menghafal ayat suci Alquran yang menjadi pegangan hidup bagi seluruh umat muslim.

Misalnya, putra pertama H Mutamimul ‘Ula, Afzalurahman Assalam. Kini dia semester akhir Teknik Geofisika ITB, hafal Alquran sejak usia 13 tahun, dan Juara I MTQ putra pelajar SMU se-Solo. Selain itu, dia juga menjabat sebagai Ketua Pembinaan Majelis Taklim Salman ITB dan terpilih sebagai peserta Pertamina Youth Programme 2007.

Hal itu membuktikan bahwa prestasi di bidang menghapal Alquran tidak menyurutkan prestasi lainnya di bidang keduniawiaan, terutama dalam bidang pendidikannya yang terus menanjak.

Selain dari seorang putranya itu, sembilan saudara lainnya juga memiliki prestasi gemilang, dari prestasi akademik, jabatan di keorganisasian, juara MTQ, dan selalu mendapatkan amanah yang baik di dalam lingkungan. Dari kesepuluh putranya, empat putranya hapal 30 juz, ada yang hapal 29 juz, 15 juz, 13 juz, sembilan juz, dan dua juz bagi dua putranya yang masih duduk di bangku SDIT Mampang Jakarta Selatan.

Dalam kesempatan menyambut momen Nuzul Quran (turunnya Alquran), DPD PKS Kota Jambi menghadirkan langsung H Mutamimul ‘Ula dan seorang putranya yang kedelapan yaitu Muhammad Syaihul Basyir atau akrab disapa Basyir di Aula Museum Negeri Jambi Telanaipura.

Anak Pertama (Sulung)


Afzalurahman Assalam
Putra pertama. Hafal Al-Qur'an pada usia 13 tahun. Saat buku ini ditulis usianya 23 tahun, semester akhir Teknik Geofisika ITB. Juara I MTQ Putra Pelajar SMU se-Solo, Ketua Pembinaan Majelis Taklim Salman ITB dan terpilih sebagai pesertaPertamina Youth Programme 2007.


Anak Kedua
Faris Jihady Hanifa
Putra kedua. Hafal Al-Qur'an pada usia 10 tahun dengan predikat mumtaz. Saat buku ini ditulis usianya 21 tahun dan duduk di semester 7 Fakultas Syariat LIPIA. Peraih juara I lomba tahfiz Al-Qur'an yang diselenggarakan oleh kerajaan Saudi di Jakarta tahun 2003, juara olimpiade IPS tingkat SMA yang diselenggarakan UNJ tahun 2004, dan sekarang menjadi Sekretaris Umum KAMMI Jakarta.


Anak Ketiga
Maryam Qonitat
Putri ketiga. Hafal Al-Qur'an sejak usia 16 tahun. Saat buku ini ditulis usianya 19 tahun dan duduk di semester V Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo. Pelajar teladan dan lulusan terbaik Pesantren Husnul Khatimah 2006. Sekarang juga menghafal hadits dan mendapatkan sanad Rasulullah dari Syaikh Al-Azhar.


Anak Keempat
Scientia Afifah Taibah
Putri keempat. Hafal 29 juz sejak SMA. Kini usianya 19 tahun dan duduk di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Saat SMP menjadi pelajar teladan dan saat SMA memperoleh juara III lomba Murottal Al-Qur'an tingkat SMA se-Jakarta Selatan.


Anak Kelima
Ahmad Rasikh 'Ilmi
Putra kelima. Saat buku ini ditulis hafal 15 juz Al-Qur'an, dan duduk di MA Husnul Khatimah, Kuningan. Ia lulusan terbaik SMPIT Al-Kahfi, juara I Kompetisi English Club Al-Kahfi dan menjadi musyrif bahasa Arab MA Husnul Khatimah.


Anak Keenam
Ismail Ghulam Halim
Putra keenam. Saat buku ini ditulis hafal 13 juz Al-Qur'an, dan duduk di SMAIT Al-Kahfi Bogor. Ia lulusan terbaik SMPIT Al-Kahfi, juara lomba pidato bahasa Arab SMP se-Jawa Barat, serta santri teladan, santri favorit, juara umum dan tahfiz terbaik tiga tahun berturut-turut di SMPIT Al-Kahfi.


Anak Ketujuh
Yusuf Zaim Hakim
Putra ketujuh. Saat buku ini ditulis ia hafal 9 juz Al-Qur'an dan duduk di SMPIT Al-Kahfi, Bogor. Prestasinya antara lain: peringkat I di SDIT, peringkat I SMP, juara harapan I Olimpiade Fisika tingkat Kabupaten Bogor, dan finalis Kompetisi tingkat Kabupaten Bogor.


Anak Kedelapan
Muhammad Syaihul Basyir
Putra kedelapan. Saat buku ini ia duduk di MTs Darul Qur'an, Bogor. Yang sangat istimewa adalah, ia sudah hafal Al-Qur'an 30 juz pada saat kelas 6 SD.


Anak Kesembilan
Hadi Sabila Rosyad
Putra kesembilan. Saat buku ini ditulis ia bersekolah di SDIT Al-Hikmah, Mampang, Jakarta Selatan dan hafal 2 juz Al-Qur'an. Diantara prestasinya dalah juara I lomba membaca puisi.


Anak Kesepuluh (Bungsu)
Himmaty Muyassarah
Putri kesepuluh. Saat buku ini ditulis ia bersekolah di SDIT Al-Hikmah, Mampang, Jakarta Selatan dan hafal 2 juz Al-Qur'an.

NUZUL QUR'AN

Para ahli sejarah banyak berbeda pendapat tentang kapan waktu pertama kali diturunkan-nya Al-Qur’an, dimana saat tersebut Allah سبحانه وتعلى memuliakan Muhammad صل اللة عليه وسلم dengan Nubuwah.

Berpendapatlah satu kelompok yang besar bahwa hal tersebut terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal dan kelompok yang lain berpendapat bahwa itu terjadi pada bulan Ramadhan kemudian yang lainnya mengatakan pada bulan Rajab (Lihat Mukhtashar Sirah Rasul oleh Syaikh Abdullah Bin Muhammad Bin Abdul Wahab An-Najdi hal : 75) dan pendapat yang kami kuatkan diantara ketiga pendapat tersebut adalah pendapat yang kedua yaitu pada bulan Ramadhan sebagaimana firman Allah سبحانه وتعلى:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ … البقرة:185
Bulan Ramadhan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an …..” (QS. Al-Baqarah : 185)Kemudian dalam surah lain Allah سبحانه وتعلى berfirman :


إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيـْلَةِ الْقَدْرِ القدر :1
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an pada malam kemuliaan (lailatul qadri)” (QS. Al-Qadr:1)
Dan dengan demikian telah diketahui bahwa Al-Qur’an diturun-kan pertama kali di malam lailatul qadri pada bulan Ramadhan, dan bulan inilah yang dimaksud dalam firman Allah سبحانه وتعلى :



إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنـْذِرِينَ الدخان :3
“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur’an) pada satu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi-kan peringatan” (QS. Ad-Dukhaan : 3).

Dan yang menguatkan pendapat ini adalah karena Rasulullah صل اللة عليه وسلم berada di gua Hira pada bulan Ramadhan dan pada saat itulah turun Jibril sebagaimana yang yang disebutkan oleh ahli sejarah.

Kemudian Ulama berbeda pendapat tentang hari dan tanggal awal turunnya wahyu pada bulan Ramadhan. Pendapat pertama menga-takan bahwa awal turunnya wahyu pada hari yang ke tujuh dan yang lain berpendapat bahwa hal itu terjadi pada hari yang ketujuh belas dan pendapat yang lain pada hari yang kedelapan belas (Lihat Rahmatan Lil’alamin 1:49).

Dan Al-Khudhori telah menetapkan dalam beberapa muhadharahnya (ceramahnya) bahwa hal itu terjadi pada hari yang ketujuh belas (pendapat ini banyak dianut di Indonesia).Namun demikian kami menguatkan bahwa awal turunnya wahyu adalah pada hari yang ke dua puluh satu walaupun kami tidak mendapatkan siapa yang berpendapat seperti itu. Kami memilih tanggal ini karena seluruh ahli sejarah atau kebanyakan dari mereka telah sepakat bahwa Rasulullah صل اللة عليه وسلم diutus pada hari Senin dan hal itu didukung dengan apa yang diriwayatkan oleh imam-imam hadits. Dari Abu Qatadah Al Anshari, bahwa Rasulullah صل اللة عليه وسلم ditanya tentang puasa hari Senin maka beliau bersabda :

فِيهِ وُلِدْتُ وَفِيهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ 

“Pada hari tersebut (Senin) aku dilahirkan dan pada hari tersebut pula diturunkan kepadaku wahyu”.(HR. Ahmad)

Dan pada lafadz lain :

ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيْهِ 

”Pada hari itu (Senin) aku dilahirkan dan hari itu aku diutus (menjadi rasul) dan pada hari itu pula diturunkan padaku wahyu“ (HR. Muslim, Ahmad, Al-Baihaqi dan Al-Hakim)
Dan hari Senin bulan Ramadhan pada tahun itu bertepatan hari ketujuh, keempat belas dan kedua puluh satu serta hari kedua puluh delapan.

Dan di dalam hadits yang diriwayat-kan oleh Aisyah رضي الله عنها, Rasulullah صل اللة عليه وسلم bersabda :

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah malam lailatul qadri pada tanggal-tanggal ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa malam lailatul qadri tidak terjadi kecuali pada hari ganjil pada sepuluh malam terak-hir di bulan Ramadhan dan lailatul qadri akan berpindah antara malam-malam tersebut, hadits ini juga menun-jukkan bahwa Al-Qur’an pertama kali turun bukan pada tanggal tujuh dan tanggal empat belas, kerena tidak termasuk dalam sepuluh malam terak-hir di bulan Ramadhan, dan bukan juga bukan pada tanggal dua puluh delapan, kerena malam lailatul qadri hanya terdapat dalam malam-malam ganjil.
Maka apabila kita hubungkan firman Allah سبحانه وتعلى :

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيـْلَةِ الْقَدْرِ القدر :1
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an pada malam kemuliaan (lailatul qadri)” (QS. Al-Qadr:1)

Dengan hadits riwayat Abu Qatadah Al Anshari, dapat di simpulka bahwa Rasulullah صل اللة عليه وسلم diutus pada hari Senin serta menurut perhitungan kalender hijriyah tentang tanggal berapa hari Senin pada tahun tersebut maka akan nampak bagi kita bahwasanya awal turunnya Al Qur’an (Nuzulul Qur’an) adalah pada malam yang kedua puluh satu pada bulan Ramadhan –Wallahu A’lam-.

Perlukah Nuzulul Qur’an dirayakan ?
Peristiwa Nuzulul Qur’an tidaklah diharapkan agar dijadikan sebagai hari raya oleh ummat ini, yang dirayakan setiap tahun, karena Islam bukanlah agama perayaan sebagaimana agama-agama lainnya.

Islam tidak memerlukan polesan, tidak perlu dibungkus dengan perayaan-perayaan yang membuat orang tertarik kepadanya. Allah سبحانه وتعلى berfirman:

اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنـَكُمْ وَ أَتــْمـَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمـَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنـــًا المائدة : 3
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu “ (QS. Al Maidah : 3)

Islam hanya mengenal dua hari raya dalam setahun yaitu ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha tidak lebih dari itu. Dengan demikian memperingati hari pertama kali turunnya Al-Qur’an tidaklah disyariatkan, sebab tidak dicontohkan oleh Rasulullah صل اللة عليه وسلم. Rasulullah صل اللة عليه وسلم bersabda :

 مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan (peribadatan) yang tidak ada contohnya dari kami maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim)

Seandainya perayaan tersebut dianggap baik, tentu Rasulullah صل اللة عليه وسلم dan para shahabatnya yang pertama kali merayakannya, namun hal tersebut tidak mereka lakukan.

Bagaimana Memperingati Nuzulul Qur’an
Memperingati peristiwa pertama kali turunnya Al Qur’an tersebut dapat dilakukan dengan mengikuti jejak ulama-ulama salaf yaitu dengan membaca Al Qur’an setiap saat tanpa ada batasan waktu, Allah سبحانه وتعلى barfirman:

إِنَّ الَّذِيْنَ يَتـْلُوْنَ كِتـَابَ اللهِ وَأَقَامُوْا الصَّلاَةَ وَأَنـْفَقُوْا مِمَّا رَزَقْنـَاهُمْ سِرًّا وَعَلاَنِيـَةً يَرْجُوْنَ تــِجَارَةً لَنْ تــَبُوْرَ فاطر :29
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian dari rizki yang Kami anugrahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi” (QS. Faathir:29)

Apalagi di bulan Ramadhan, bulan Qur’an, Bulan yang digandakan padanya kebaikan dan ketaatan. Utsman bin Affan رضي الله عنه berkata : “Seandainya hati kita bersih, tentu tidak akan merasa kenyang dari kalam Allah, sesungguhnya aku amat tidak suka mana kala datang sebuah hari sementara aku tidak membaca Al Qur’an” Karena itu beliau tidak meni-nggal hingga mushaf Al Qur’annya sobek karena seringnya dibaca.

Para tabi’in dan atbaut tabiin, karena begitu memahami arti dari Ramadhan sebagai bulan Al Qur’an maka begitu kuatnya mereka dalam mencintai Al Qur’an, seperti yang dilakukan Imam Az Zuhri dan Sufyan Ats Tsauri, mereka mengkhatamkan Al Qur’an sampai berpuluh-puluh kali.

Imam Qatadah di luar Ramadhan mengkhatamkan setiap tujuh hari, di dalam Ramadhan khatam sampai tiga hari. Sementara Imam Syafi’i diluar bulan Ramadhan dalam sebulannya mengkhatamkan Al Qur’an tiga puluh kali dan di dalam bulan Ramadhan mengkhatamkan Al Qur’an sebanyak enam puluh kali itu semua di luar shalat. Demikianlah ulama Ahlus sunnah tidak pernah merayakan Nuzulul Qur’an, namun setiap harinya khatam Al Qur’an ada yang sekali dan ada yang dua kali, sementara kita di bulan Ramadhan jika hanya mampu khatam satu kali saja sudah merasa puas dan gembira. Itupun dapat dihitung dengan jari.

Syekhul Islam selama dalam penjara, dari tanggal 7 Sya’ban 726 H sampai wafatnya 22 Dzulqo’dah 728 H, selama 2 tahun 4 bulan telah mengkhatamkan Al Qur’an bersama saudaranya Syekh Zainuddin Ibnu Taimiyah sebanyak 80 kali khatam, yang berarti rata-rata beliau meng-khatamkan Al Qur’an setiap 10 hari.

Semoga Allah merahmati kita semua sehingga dapat meneladani Rasulullah dan para shahabatnya dan para ulama salaf dalam mencintai Al Qur’an dan ibadah-ibadah mereka. (Al Fikrah)
-Muhammad Anas Syukur-
Maraji’ : Ar Rahiqul Makhtum, Asy Syekh Shafiyurrahman Al Mubarakfuri – حفظه الله -
Nuzul Qur'an

Sabtu, 20 Agustus 2011

Fiqih Ringkas I’tikaf (1)

Definisi I’tikaf
Secara literal (lughatan), kata “الاعْتِكاف” berarti “الاحتباس” (memenjarakan)[1]. Ada juga yang mendefinisikannya dengan:


حَبْسُ النَّفْسِ عَنْ التَّصَرُّفَاتِ الْعَادِيَّةِ

“Menahan diri dari berbagai kegiatan yang rutin dikerjakan” [2].

Dalam terminologi syar’i (syar’an), para ulama berbeda-beda dalam mendefinisikan i’tikaf dikarenakan perbedaan pandangan dalam penentuan syarat dan rukun i’tikaf[3]. Namun, kita bisa memberikan definisi yang umum bahwa i’tikaf adalah:


الْمُكْث فِي الْمَسْجِد لعبادة الله مِنْ شَخْص مَخْصُوص بِصِفَةٍ مَخْصُوصَة

“Berdiam diri di dalam masjid untuk beribadah kepada Allah yang dilakukan oleh orang tertentu dengan tata cara tertentu” [4].

Dalil Pensyari’atan

I’tikaf disyari’atkan berdasarkan dalil dari Al Quran, sunnah, dan ijma’. Berikut dalil-dalil pensyari’atannya.

Dalil dari Al Quran

a. Firman Allah ta’ala,




وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

“Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.” (Al Baqarah: 125).

b. Firman Allah ta’ala,

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

“(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (Al Baqarah: 187).

Penyandaran i’tikaf kepada masjid yang khusus digunakan untuk beribadah dan perintah untuk tidak bercampur dengan istri dikarenakan sedang beri’tikaf merupakan indikasi bahwa i’tikaf merupakan ibadah.[5]



Dalil dari sunnah

a. Hadits dari Ummu al-Mukminin, ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian para istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.”[6]

b. Hadits dari sahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.”[7]

Dalil Ijma’

Beberapa ulama telah menyatakan bahwa kaum muslimin telah berijma’ bahwa i’tikaf merupakan ibadah yang disyari’atkan. Diantara mereka adalah:

a. Ibnul Mundzir rahimahullah dalam kitab beliau Al Ijma’. Beliau mengatakan,

وأجمعوا على أن الاعتكاف لا يجب على الناس فرضا إلا أن يوجبه المرء على نفسه فيجب عليه

“Ulama sepakat bahwa i’tikaf tidaklah berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf, dengan demikian dia wajib untuk menunaikannya.”[8]

b. An Nawawi rahimahullah mengatakan,

فالاعتكاف سنة بالاجماع ولا يجب إلا بالنذر بالاجماع

“Hukum i’tikaf adalah sunnah berdasarkan ijma dan ulama sepakat bahwa i’tikaf tidak berhukum wajib kecuali seorang yang bernadzar untuk beri’tikaf.”[9]

c. Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan, “I’tikaf tidaklah wajib berdasarkan ijma’ kecuali bagi seorang yang bernadzar untuk melakukan I’tikaf.”[10]



Hukum I’tikaf

Hukum asal i’tikaf adalah sunnah (mustahab) berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ ». فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ

“Sungguh saya beri’tikaf di di sepuluh hari awal Ramadhan untuk mencari malam kemuliaan (lailat al-qadr), kemudian saya beri’tikaf di sepuluh hari pertengahan Ramadhan, kemudian Jibril mendatangiku dan memberitakan bahwa malam kemuliaan terdapat di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Barangsiapa yang ingin beri’tikaf, hendaklah dia beri’tikaf (untuk mencari malam tersebut). Maka para sahabat pun beri’tikaf bersama beliau.”[11]

Dalam hadits di atas, nabi memberikan pilihan kepada para sahabat untuk melaksanakan i’tikaf. Hal ini merupakan indikasi bahwa i’tikaf pada asalnya tidak wajib.

Status sunnah ini dapat menjadi wajib apabila seorang bernadzar untuk beri’tikaf berdasarkan hadits ‘Aisyah, beliau mengatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ

“Barangsiapa bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allah, dia wajib menunaikannya.”[12]

‘Umar radhiallahu ‘anhu pernah bertanya kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai rasulullah! Sesungguhnya saya pernah bernadzar untuk beri’tikaf selama satu malam di Masjid al-Haram.” Nabi pun menjawab, “Tunaikanlah nadzarmu itu!”[13]

Al Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan, “I’tikaf tidaklah wajib berdasarkan ijma’ kecuali bagi seorang yang bernadzar untuk melakukan I’tikaf.”[14][15]


Pertanyaan: Bagaimanakah hukum i’tikaf bagi wanita?

Jawab:

Dalam permasalahan ini terdapat dua pendapat ulama.

Pendapat pertama adalah pendapat jumhur yang menyatakan itikaf dianjurkan juga bagi wanita sebagaimana dianjurkan bagi pria. Dalil bagi pendapat pertama ini diantaranya adalah:

* Keumuman berbagai dalil mengenai pensyari’atan i’tikaf yang turut mencakup pria dan wanita. Asalnya, segala peribadatan yang ditetapkan bagi pria, juga ditetapkan bagi wanita kecuali terdapat dalil yang mengecualikan.
* Firman Allah ta’ala,

كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ

“Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab…” (Ali ‘Imran: 37).
* dan firman-Nya,

فَاتَّخَذَتْ مِنْ دُونِهِمْ حِجَابًا

“Maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka…” (Maryam: 17).


Ayat ini memberitakan bahwa Maryam telah membaktikan dirinya untuk beribadah dan berkhidmat kepada-Nya. Dia mengadakan tabir dan menempatkan dirinya di dalam mihrab untuk menjauhi manusia. Hal ini menunjukkan bahwa beliau beri’tikaf. Meskipun perbuatan Maryam itu merupakan syari’at umat terdahulu, namun hal itu juga termasuk syari’at kita selama tidak terdapat dalil yang menyatakan syari’at tersebut telah dihapus.


* Hadits Ummul Mukminin, ‘Aisyah dan Hafshah radhiallahu ‘anhuma, yang keduanya memperoleh izin untuk beri’tikaf sedang mereka berdua masih dalam keadaan belia saat itu.[16]

Pendapat kedua menyatakan bahwa i’tikaf dimakruhkan bagi pemudi. Dalil yang menjadi patokan bagi pendapat ini diantaranya adalah sebagai berikut:

* Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu yang menerangkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melepas kemah-kemah istrinya ketika mereka hendak beri’tikaf bersama beliau[17]
* Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,




لَوْ أَدْرَكَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ كَمَا مُنِعَتْ نِسَاءُ بَنِى إِسْرَائِيلَ

“Seandainya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui apa kondisi wanita saat ini tentu beliau akan melarang mereka (untuk keluar menuju masjid) sebagaimana Allah telah melarang wanita Bani Israil.”[18]

Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur yang menyatakan bahwa i’tikaf juga disunnahkan bagi wanita berdasarkan beberapa alasan berikut:

* Berbagai dalil menyatakan bahwasanya wanita juga turut beri’tikaf dan tidak terdapat dalil tegas yang menerangan bahwa pemudi dimakruhkan untuk beri’tikaf.


* Hadits ‘Aisyah yang menyatakan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melepas kemah para istri beliau ketika mereka beri’tikaf bukanlah menunjukkan ketidaksukaan beliau apabila para pemudi turut beri’tikaf. Namun, motif beliau memerintahkan hal tersebut adalah kekhawatiran jika para istri beliau saling cemburu dan berebut untuk melayani beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, dalam hadits tersebut beliau mengatakan, “Apakah kebaikan yang dikehendaki oleh mereka dengan melakukan tindakan ini?”. Akhirnya beliau pun baru beri’tikaf di bulan Syawwal.


* Hadits ‘Aisyah ini justru menerangkan bolehnya pemudi untuk beri’tikaf, karena ‘Aisyah dan Hafshah di dalam hadits ini diizinkan nabi untuk beri’tikaf dan pada saat itu keduanya berusia belia.


* Adapun perkataan ‘Aisyah yang menyatakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan melarang wanita untuk keluar ke masjid apabila mengetahui kondisi wanita saat ini, secara substansial, bukanlah menunjukkan bahwa i’tikaf tidak disyari’atkan bagi pemudi. Namun, perkataan beliau tersebut menunjukkan akan larangan bagi wanita untuk keluar ke masjid apabila dikhawatirkan terjadi fitnah.

Hikmah I’tikaf

Seluruh peribadatan yang disyari’atkan dalam Islam pasti memiliki hikmah, baik itu diketahui oleh hamba maupun tidak. Tidak terkecuali ibadah i’tikaf ini, tentu mengandung hikmah. Hikmah yang terkandung di dalamnya berusaha diuraikan oleh imam Ibn al-Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau Zaadul Ma’ad[19]. Beliau mengatakan, “Kebaikan dan konsistensi hati dalam berjalan menuju Allah tergantung kepada terkumpulnya kekuatan hati kepada Allah dan menyalurkannya dengan menghadapkan hati secara total kepada-Nya, -karena hati yang keruh tidak akan baik kecuali dengan menghadapkan hati kepada Allah ta’ala secara menyeluruh-, sedangkan makan dan minum secara berlebihan, terlalu sering bergaul, banyak bicara dan tidur, merupakan faktor-faktor yang mampu memperkeruh hati, dan semua hal itu bisa memutus perjalanan hati menuju kepada-Nya, atau melemahkan, menghalangi, dan menghentikannya.

(Dengan demikian), rahmat Allah yang Maha Perkasa dan Maha Penyayang menuntut pensyari’atan puasa bagi mereka, yang mampu menyebabkan hilangnya makan dan minum yang berlebih.

(Begitupula) hati yang keruh tidak dapat disatukan kecuali dengan menghadap kepada Allah, padahal (kegiatan manusia banyak yang memperkeruh hati seperti) makan dan minum secara berlebih, terlalu sering bergaul dengan manusia, serta banyak bicara dan tidur. (Semua hal itu) memporakporandakan hati, memutus, atau melemahkan, atau mengganggu dan menghentikan hati dari berjalan kepada Allah. Maka rahmat Allah kepada hamba-Nya menuntut pensyari’atan puasa untuk mereka yang mampu mengikis makan dan minum yang berlebih serta mengosongkan hati dari campuran syahwat yang menghalangi jalan kepada Allah. Allah mensyariatkannya sesuai dengan kadar kemaslahatan yang dapat bermanfaat bagi hamba di dunia dan akhirat. Namun, tidak merugikan dan memutus kemaslahatan dunia dan akhiratnya.

Demikian pula, Allah mensyariatkan i’tikaf bagi mereka yang bertujuan agar hati dan kekuatannya fokus untuk beribadah kepada-Nya, berkhalwat dengan-Nya, memutus diri dari kesibukan dengan makhluk dan hanya sibuk menghadap kepada-Nya. Sehingga, berdzikir, kecintaan, dan menghadap kepada-Nya menjadi ganti semua faktor yang mampu memperkeruh hati. Begitupula, kesedihan dan kekeruhan hati justru akan akan terhapus dengan mengingat-Nya dan berfikir bagaimana cara untuk meraih ridha-Nya dan bagaimana melakukan amalan yang mampu mendekatkan diri kepada-Nya. Berkhalwat dengan-Nya menjadi ganti dari kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia berbuat demikian adalah karena (mengharapkan) kelembutan-Nya pada hari yang mengerikan di alam kubur, tatkala tidak ada lagi yang mampu berbuat lembut kepadanya dan tidak ada lagi yang mampu menolong (dirinya) selain Allah. Inilah maksud dari i’tikaf yang agung itu.“

Waktu I’tikaf

Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat i’tikaf dianjurkan setiap saat untuk dilakukan dan tidak terbatas pada bulan Ramadhan atau di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. [20] Berikut beberapa dalil yang menunjukkan hal tersebut:

a. Terdapat riwayat yang shahih dari Ummu al-Mukminin, yang menyatakan bahwasanya nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari pertama bulan Syawwal dan dalam satu riwayat beliau melaksanakannya di sepuluh hari terakhir bulan Syawwal.[21]

b. Hadits Ibnu ‘Umar yang menceritakan bahwa ‘Umar radhiallahu ‘anhu, bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:




كُنْتُ نَذَرْتُ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

“Pada masa jahiliyah, saya pernah bernadzar untuk beri’tikaf semalam di Masjid al-Haram.” Maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkannya untuk menunaikan nadzar tersebut.[22]

c. Hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

إِذَا كَانَ مُقِيماً اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ وَإِذَا سَافَرَ اعْتَكَفَ مِنَ الْعَامِ الْمُقْبِلِ عِشْرِينَ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ketika dalam kondisi mukim. Apabila beliau bersafar, maka beliau beri’tikaf pada tahun berikutnya selama dua puluh hari.”[23]

Begitupula hadits Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَعْتَكِفُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَسَافَرَ سَنَةً فَلَمْ يَعْتَكِفْ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْماً

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Kemudian beliau pernah bersafar selama setahun dan tidak beri’tikaf, akhirnya beliau pun beri’tikaf pada tahun berikutnya selama dua puluh hari.”[24]

Sisi argumen dari hadits di atas adalah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf selama dua puluh hari. Hal ini menunjukkan pensyari’atan beri’tikaf pada selain sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Tindakan beliau ini bukanlah qadha, karena kalau terhitung sebagai qadha tentu nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan bersegera menunaikannya sebagaimana kebiasaan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

d. Adanya berbagai riwayat dari nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhu yang menyatakan puasa sebagai syarat i’tikaf dan sebaliknya terdapat riwayat yang menyatakan puasa bukanlah syarat i’tikaf. Hal ini mengisyaratkan bahwa i’tikaf disyari’atkan di setiap waktu, tidak hanya di bulan Ramadhan atau pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Karena jika I’tikaf tidak boleh dilaksanakan kecuali pada bulan Ramadhan atau sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka adanya perbedaan pendapat dalam penentuan puasa sebagai syarat atau tidak tidak akan mencuat.

Tujuan i’tikaf adalah mengumpulkan hati kepada Allah ta’ala, menghadap kepada-Nya, dan berpaling dari selain-Nya dan hal ini tentunya dapat terealisasi di segala waktu. Namun, pada waktu-waktu tertentu, seperti di bulan Ramadhan terutama pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, ibadah I’tikaf lebih ditekankan untuk dilakukan.

-bersambung insya Allah-
__________________________________________________________________________________


[1] Mukhtar ash-Shihhah 1/467.

[2] Al Mishbah al Munir 2/424.

[3] Fiqh al-I’tikaf hal.24.

[4] Syarh Shahih Muslim 8/66, dikutip dari al-Inshaf fi Hukm al-I’tikaf hlm. 5.

[5] Fiqh al-I’tikaf hal. 31

[6] HR. Bukhari dan Muslim

[7] HR. Bukhari dan Muslim

[8] Al Ijma’ hlm. 7; Asy Syamilah.

[9] Al Majmu’ 6/475; Asy Syamilah

[10] Fath al-Baari 4/271

[11] HR. Muslim: 1167.

[12] HR. Bukhari: 6318.

[13] HR. Bukhari: 1927.

[14] Fath al-Baari 4/271

[15] Ibnu Rusyd dalam Bidayah al-Mujtahid 1/312 menyatakan bahwa imam Malik menganggap makruh ibadah i’tikaf. Imam Malik berganggapan tidak ada sahabat yang melakukan I’tikaf. Namun, kita dapat mengetahui bahwa pendapat beliau tersebut bertentangan dengan dalil-dalil yang telah dipaparkan. Silahkan melihat Fiqh al-Itikaf hal. 34-37 untuk melihat pembahasan yang lebih luas.

[16] HR. Bukhari: 1940.

[17] HR. Ibnu Khuzaimah: 2224.

[18] HR. Bukhari: 831 dan Muslim: 445

[19] Zaad al-Ma’ad 2/82.

[20] Badai’ ash-Shanai’ 2/273, Kifayah al Akhyar 1/297, Al Mughni 3/122.

[21] HR. Bukhari: 1936 dan Muslim: 1172. Hal ini dilakukan karena beliau pernah meninggalkan i’tikaf di bulan Ramadhan dan menggantinya di bulan Syawwal.

[22] HR. Bukhari: 1927.

[23] HR. Ahmad: 12036.

[24] HR. Ahmad: 21314.



Penulis: M. Nur Ichwan Muslim
Artikel Muslim.Or.Id

Senin, 01 Agustus 2011

.:: Doa Berbuka Puasa ::.


===================
DO'A BERBUKA PUASA
===================

ذَهَبَ الظَّمَأُ، وابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَاللهُ

Telah hilang rasa haus, dan urat-urat telah basah serta pahala telah tetap, Insya Allah ...

HR. Abu Dawud no. 2357, ad-Daraquthni III/401 no. 2247, al-Hakim I/422.
Lihat Irwaa'ul Ghaliil IV/39 no. 920, Shahiih Abi Dawud III/449 no. 2066, hasan ...


Linkwithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...