Pertanyaan:
Saya termasuk orang yang memahami bahwa qunut subuh itu tidak disyariatkan. Namun, saat saya di rumah orang tua yang berbeda daerah, masyarakatnya meyakini qunut subuh sangat-sangat diperintahkan, bahkan sebagiannya menjadikannya seperti rukun. Sebabnya, karena ada sebagian dari mereka, jika bermakmum kepada orang yang tidak qunut, ia mengulangi shalatnya. Maka untuk menjaga dari fitnah, jika saya shalat di masjid tempat orang tua saya tadi maka saya ikut mengangkat tangan untuk berqunut bersama jama'ah. Apakah keputusan saya ini benar?
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Pada dasarnya kebenaran Islam itu ada pada Al-Qur'an dan as-Sunnah. Maka wajib atas kaum muslimin secara keseluruhan berpegang teguh dengan keduanya, tidak fanatik kepada pribadi imam atau mazhab tertentu. Karena Allah telah memerintahkan untuk kembali kepada Al-Kitab dan al-Sunnah saat terjadi perselisihan. Allah Ta'ala berfirman,
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir." (QS. Al-Nisa': 59)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Tak ada seorangpun dari kaum muslimin yang harus beraklid kepada ulama tertentu dalam setiap apa yang dikatakannya. Dan juga tidak ada kewajiban atas salah seorang dari kaum muslimin untuk iltizam kepada mazhab orang tertentu dalam setiap yang diwajibkan dan diberitakan olehnya, selain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Bahkan setiap orang bisa diterima ucapannya dan bisa juga ditinggalkan kecuali Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam." (Majmu' Fatawa: 20/209)
Sesungguhnya mengikuti seseorang untuk komitmen pada mazhab tertentu karena kelemahannya untuk memahami urusan syar'i dari jalur lain, maka ini dibolehkan baginya. Berbeda dengan yang memiliki kemampuan, maka ia tidak boleh hanya taklid pada madhab tertentu. Tetapi ia harus bertakwa kepada Allah semampunya, menuntut ilmu tentang perintah Allah dan Rasul-Nya, serta mengerjakan perintah-perintah tersebut dan meninggalkan larangan keduanya.
Hukum Qunut Shubuh
Hukum qunut dalam shalat Shubuh, sebenarnya sudah maklum menjadi persoalan yang diperselisihkan di kalangan ulama. Pendapat Imam Malik mengatakan menganjurkannya sebelum ruku' pada rakaat kedua. Pendapat Imam Syafi'i menyatakan sunnah sesudah ruku pada rakaat kedua. Sementara pendapt Imam Abu Hanifah dan Ahmad menyelisihi keduanya, qunut Shubuh tidak disunnahkan, bahkan Imam Abu Hanifah secara terang-terangangan menyebutnya sebagai perkara bid'ah.
Pendapat yang benar, qunut Shubuh tidak disunnahkan secara terus-menerus. Qunut disunnahkan dalam kasus-kasus tertentu yang dikerjakan pada shalat Shubuh dan shalat-shalat lainnya. Adapun riwayat yang menghususkan qunut Shubuh atau menyatakan sunnahnya merutinkan qunut Shubuh: tidak ada yang shahih. Jadi, tidak disyariatkan qunut shubuh secara terus-menerus.
Jika Mengimami Jama'ah yang Qunut
Dari uraian di atas, qunut shubuh termasuk khilafiyah. Maka jika seseorang sudah mengambil satu kesimpulan yang dianggapnya benar, tetap harus bertoleransi kepada yang mengambil kesimpulan berbeda dengannya. Maka jika seorang imam tahu kalau jamaahnya belum menerima kalau qunut Shubuh ditinggalkan, seperti pula jika mereka belum bisa menerima beberapa amal sunnah dan mustahabbah untuk ditegakkan, maka hendaknya ia mengamalkan sunnah-sunnah sebatas yang mampu ditegakkanya dengan terus bersikap lemah lembut kepada mereka sehingga membawa mereka kepada sunnah dengan bertahap. Hal ini didasarkan kepada firman Allah Ta'ala, "Maka bertakwalah kepada Allah semampu kalian." (QS. Al-Taghabun: 16). Teruslah ia mengajarkan sunnah dengan pelan-pelan, halus dan lebut, serta bertahap dalam menegakkannya. Sedangkan amal-amal sunnah yang sudah bisa ditegakkanya tidak menjadi gugur karena beberapa kekurangannya dalam sebagian amal sunnah lainnya baik yang bersifat qauliyah maupun fi'liyah.
Tidak termasuk sikap bijak dan syar'i, jika karena masalah khilafiyah ini lalu tidak mau shalat bersama jama'ah. Ditakutkan nantinya jamaah akan mengangkat imam lain yang jahil dan banyak membuat tatacara ibadah baru diluar yang khilafiyah.
Maka dianjurkan bagi seorang imam untuk mengerjakan sebagian persoalan khilafiyah yang tidak sesuai dengan yang menurutnya lebih rajih, jika di dalamnya terdapat satu upaya untuk mendekatkan umat pada dakwahnya. Syaikhul Islam rahimahullah berkata, "Dan disunnahkan menjaharkan Basamalah untuk menta'lif (pendekatan kepada jama'ah) sebagaimana yang dianjurkan oleh Imam Ahmad untuk meninggalkan qunut witir untuk menta'lif makmum." (Al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah: 50)
Jika Bermakmum Kepada Imam yang Qunut
Jika bagi imam tetap dianjurkan untuk memimpin shalat manusia dengan amalan ijtihadiyah yang dipegang mereka, -walau berbeda dengan apa yang disimpulkannya dalam persoalan ijtihadiyah demi kemashlahatan syar'i -, maka bagi makmum lebih ringan. Shalatnya di belakang orang berbeda kesimpulan dalam persoalan ijtihadiyah adalah lebih baik. Apalagi kalau jelas ada kemashlahatan syar'i yang terealisir seperti untuk kerukunan, persatuan, dan semisalnya. Apalagi kalau tidak maunya shalat dibelakang imam tadi menyebabkannya tidak bisa ikut berjama'ah terus-menerus. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Dan kalaupun imam meninggalkan satu rukun yang diyakini makmum dan tidak diyakini imam: sah shalatnya (makmum) di belakang imam itu. Ia adalah satu dari dua riwayat dari Imam Ahmad, Madhab Malik, dan yang dipilih oleh al-Maqdisi."
Beliau berkata lagi, "Kalau seorang imam mengerjakan keharaman yang diyakini makmum yang boleh berijtihad di dalamnya: maka sah shalat di belakangnya, dan ia adalah pendapat yang masyhur dari Ahmad,' (Selesai dari Al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah: 70)
Oleh karena itu, bagi makmum sebaiknya mengikuti imam dalam persoalan yang boleh berijtihad. Jika imam qunut, maka ia qunut bersamanya. Dan jika tidak qunut, maka ia juga tidak qunut. Karena Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
إنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ
"Sesungguhnya dijadikan imam itu untuk diikuti." (HR. al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud) Beliau juga bersabda, "Janganlah kalian selisihi imam-imam kalian." Terdapat dalam Shahih al-Bukhari, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
يُصَلُّونَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Shalatlah bersama mereka. Jika mereka benar, maka (pahalanya) untuk kalian dan mereka. Jika mereka salah, maka pahalanya untuk kalian (dan) dosanya untuk mereka.” (Lihat: Majmu' Fatawa: 23/115-116)
Maka tidak boleh seseorang ragu dan meninggalkan shalat di belakang orang yang melaksanakan qunut Shubuh dan yang berbeda kesimpulan dengannya dalam perkara ijtihadiyah. Sesungguhnya orang yang meninggalkan berjama'ah hanya karena perkara ini ia telah menyalahi al-Kitab, al-Sunnah dan ijma' para sahabat.
"Adapun shalat seseorang dibelakang orang yang berbeda mazhab adalah sah berdasarkan kesepakatan para sahabat dan yang mengikuti mereka dalam kebaikan serta empat Imam. Namun pertentangan terjadi pada dua kasus: Pertama, perbedaannya itu ganjil yaitu jika seorang imam melakukan perbuatan yang wajib seperti apa yang diyakini oleh makmum namun ia tidak meyakini bahwa perbuatan tersebut adalah wajib. Misalnya Tasyahud akhir jika dilakukan oleh orang (imam) yang tidak meyakini kewajibannya sementara makmum meyakininya sebagai kewajiban. Inilah perbedaan yang ganjil. Yang benar sesuai dengan pendapat salaf dan jumhur sahabat adalah sahnya shalat tersebut.
Masalah kedua, terdapat perbedaan yang masyhur jika seorang Imam meninggalkan perbuatan yang diyakini kewajibannya oleh makmum. Misalnya Imam meninggalkan membaca bismillah sedangkan makmum meyakininya sebagai kewajiban. Atau Imam tidak berwudhu karena menyentuh kemaluan, menyentuh wanita, makan daging unta, tertawa keras, keluar banyak najis, atau najis yang jarang sedangkan makmum menganggap wajib berwudhu. Dalam hal ini ada dua pendapat: yang paling sahih adalah sahnya shalat makmum dan itu merupakan mazhab malik dan merupakan pendapat yang paling tegas diantara dua pendapat dari Imam Ahmad pada masalah-masalah seperti ini. Ini juga merupakan salah satu dari dua pendapat di dalam mazhab Syafi'i bahkan yang manshush dari Imam Syafi'i. Sesungguhnya beliau pernah shalat di belakang penganut mazhab Maliki yang tidak membaca Bismillah sedangkan mazhab beliau mewajibkannya. Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan oleh al Bukhari dan lainnya dari Nabi Shallallaahu alaihi Wasallam, beliau bersabda: “Shalatlah bersama mereka. Jika mereka benar, maka (pahalanya) untuk kalian dan mereka. Jika mereka salah, maka pahalanya untuk kalian (dan) dosanya untuk mereka”. Beliau menjadikan kesalahan Imam sebagai tanggungan Imam sendiri berbeda dengan makmum." (Majmu' Fatawa: 23/378-379)
Al-Bahuti dalam al-Raudh al-Murbi' berkata, "Siapa yang bermakmum kepada orang yang qunut dalam shalat Shubuh, maka ia mengikuti imam dan mengaminkan." Maksudnya: Mengikutinya dalam doanya." (Hasyiyah al-Raudh: 1/220)
Ulama Lajnah Daimah berkata, "Malik menganjurkan qunut pada rakaat terakhir dari shalat Shubuh sebelum ruku'. Dan Imam Syafi'i berpendapat bahwa qunut adalah sunnah sesudah ruku' pada rakaat terakhir dari shalat Shubuh. Dan ada sekumpulan ulama salaf dan khalaf yang berpendapat seperti itu. Mereka berdalil dengan hadits al-Bara' dan yang semisalnya. Dan dijawab, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengerjakannya pada nawazil (kasus/musibah yang menimpa umat Islam) saja lalu meninggalkannya. Hadits tersebut tidak menghususkan qunut pada shalat Shubuh, bahkan menunjukkan pensyariatannya pada shalat Maghrib dan Shubuh saat terjadi musibah. Beberapa hadits lain menunjukkan keumumannya (dikerjakan) pada semua shalat fardhu. Sedangkan mereka menghususkan qunut pada shalat Shubuh dan berpendapat dikerjakan terus menerus.
Mereka juga berdalil dengan riwayat, "Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam senantiasa melakukan qunut pada shalat Shubuh sampai beliau wafat." Dijawab: Redaksi ini disebutkan di beberapa hadits, tapi statusnya dhaif. Karena dia berasal dari jalur Abu Ja'far al-Raazi, di mana Abdullah bin Ahmad berkata tentangnya, "Tidak kuat (hafalannya)." Ali al-Madini berkata, "dia kacau hafalannya." Amru bin Ali al-Fallash berkata, "orang jujur namun buruk hafalannya." Ada beberapa orang yang mengambil riwayat darinya yang juga mengambil riwayat dari para imam lain karena rekomendasi sebagian dari ulama jarh wa ta'dil terhadap Abu Ja'far al-Razi dan adanya beberapa penguat dari beberapa hadits lain. Tetapi dalam sanad hadits penguat tadi terdapat Amru bin 'Ubaid al-Qadari, ia bukan hujah.
Pada intinya, menghususkan shalat Shubuh dengan qunut termasuk masalah khilafiyah dan ijtihadiyah. Maka siapa shalat di belakang imam yang qunut pada shalat Shubuh saja sebelum ruku' atau sesudahnya, maka mendaknya mengikutinya, walaupun yang kuat adalah mengerjakan qunut pada semua shalat fardhu saat terjadi musibah saja. (Syaikh Abdurrazaq 'Afifi, Syaikh Abdullah bin Ghadiyan, Syaikh Abdullah bin Manii', "Fatawa al-Lajnah al-Daimah: 7/42-45)
Kesimpulan
Dari penjelasan tentang qunut shubuh di atas, maka sikap dan keputusan yang diambil penanya sudah benar. Apalagi kalau pilihan tersebut didasarkan untuk menghindari fitnah antar sesama muslim. Sesungguhnya masalah ini adalah masalah khilafiyah, sejak zaman dahulu ulama sudah berbeda pendapat tentangnya. Oleh karena itu perselisihan terhadap persoalan ini janganlah dibesar-besarkan, apalagi sampai merusak ukhuwah islamiyah. Karena rusaknya hubungan sesama muslim itu lebih besar daripada, -seandainya salah- dalam mengambil ijtihad ini. Walau demikian, bagi pribadi hendaknya terus mencari yang lebih benar untuk diambil dan diamalkan. Namun tidak boleh sampai pada tahap merasa paling benar dan menyalah-nyalahkan pada pihak lain yang berbeda pendapat dalam persoalan ijtihad ini. Apalagi sampai mengklaim shalatnya tidak sah dan tidak diterima oleh Allah Ta'ala.
Dalam kitab Maa Laa Yasa’ al-Muslima Jahluhu, hal. 127 disebutkan salah satu prinsip dalam berislam, "Kita juga meyakini bahwa persoalan-persoalan ijtihadiyah –yaitu setiap persoalan yang tidak memiliki dalil tegas yang ditunjukkan oleh nash atau ijma yang shahih- bukan termasuk pengikat al-wala’ dan bara’. Orang yang berbeda pendapat dalam masalah ini, tidak boleh dikucilkan. Sementara sikapnya tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk mencela status agama, selama sikapnya tersebut bersumber dari ijtihad atau taklid yang dibenarkan.
Jama’ah (persatuan) kaum muslimin tidak boleh terpecah hanya karena perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’iyah ini. Walaupun hal ini tidak boleh menjadi halangan bagi seseorang untuk melakukan penelitian ilmiah dalam masalah ini, dengan harapan mendapatkan kebenaran hakiki. Tetapi dengan catatan jangan sampai menimbulkan debat kusir dan fanatisme." Hadanallahu Waiyyakum Ajma'in. [PurWD/voa-islam.com]
Oleh: Badrul Tamam
Sumber: Voa Islam
Saya termasuk orang yang memahami bahwa qunut subuh itu tidak disyariatkan. Namun, saat saya di rumah orang tua yang berbeda daerah, masyarakatnya meyakini qunut subuh sangat-sangat diperintahkan, bahkan sebagiannya menjadikannya seperti rukun. Sebabnya, karena ada sebagian dari mereka, jika bermakmum kepada orang yang tidak qunut, ia mengulangi shalatnya. Maka untuk menjaga dari fitnah, jika saya shalat di masjid tempat orang tua saya tadi maka saya ikut mengangkat tangan untuk berqunut bersama jama'ah. Apakah keputusan saya ini benar?
Irawan - Bekasi
Jawaban:Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.
Pada dasarnya kebenaran Islam itu ada pada Al-Qur'an dan as-Sunnah. Maka wajib atas kaum muslimin secara keseluruhan berpegang teguh dengan keduanya, tidak fanatik kepada pribadi imam atau mazhab tertentu. Karena Allah telah memerintahkan untuk kembali kepada Al-Kitab dan al-Sunnah saat terjadi perselisihan. Allah Ta'ala berfirman,
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir." (QS. Al-Nisa': 59)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Tak ada seorangpun dari kaum muslimin yang harus beraklid kepada ulama tertentu dalam setiap apa yang dikatakannya. Dan juga tidak ada kewajiban atas salah seorang dari kaum muslimin untuk iltizam kepada mazhab orang tertentu dalam setiap yang diwajibkan dan diberitakan olehnya, selain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Bahkan setiap orang bisa diterima ucapannya dan bisa juga ditinggalkan kecuali Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam." (Majmu' Fatawa: 20/209)
Sesungguhnya mengikuti seseorang untuk komitmen pada mazhab tertentu karena kelemahannya untuk memahami urusan syar'i dari jalur lain, maka ini dibolehkan baginya. Berbeda dengan yang memiliki kemampuan, maka ia tidak boleh hanya taklid pada madhab tertentu. Tetapi ia harus bertakwa kepada Allah semampunya, menuntut ilmu tentang perintah Allah dan Rasul-Nya, serta mengerjakan perintah-perintah tersebut dan meninggalkan larangan keduanya.
Hukum Qunut Shubuh
Hukum qunut dalam shalat Shubuh, sebenarnya sudah maklum menjadi persoalan yang diperselisihkan di kalangan ulama. Pendapat Imam Malik mengatakan menganjurkannya sebelum ruku' pada rakaat kedua. Pendapat Imam Syafi'i menyatakan sunnah sesudah ruku pada rakaat kedua. Sementara pendapt Imam Abu Hanifah dan Ahmad menyelisihi keduanya, qunut Shubuh tidak disunnahkan, bahkan Imam Abu Hanifah secara terang-terangangan menyebutnya sebagai perkara bid'ah.
Pendapat yang benar, qunut Shubuh tidak disunnahkan secara terus-menerus. Qunut disunnahkan dalam kasus-kasus tertentu yang dikerjakan pada shalat Shubuh dan shalat-shalat lainnya. Adapun riwayat yang menghususkan qunut Shubuh atau menyatakan sunnahnya merutinkan qunut Shubuh: tidak ada yang shahih. Jadi, tidak disyariatkan qunut shubuh secara terus-menerus.
Jika Mengimami Jama'ah yang Qunut
Dari uraian di atas, qunut shubuh termasuk khilafiyah. Maka jika seseorang sudah mengambil satu kesimpulan yang dianggapnya benar, tetap harus bertoleransi kepada yang mengambil kesimpulan berbeda dengannya. Maka jika seorang imam tahu kalau jamaahnya belum menerima kalau qunut Shubuh ditinggalkan, seperti pula jika mereka belum bisa menerima beberapa amal sunnah dan mustahabbah untuk ditegakkan, maka hendaknya ia mengamalkan sunnah-sunnah sebatas yang mampu ditegakkanya dengan terus bersikap lemah lembut kepada mereka sehingga membawa mereka kepada sunnah dengan bertahap. Hal ini didasarkan kepada firman Allah Ta'ala, "Maka bertakwalah kepada Allah semampu kalian." (QS. Al-Taghabun: 16). Teruslah ia mengajarkan sunnah dengan pelan-pelan, halus dan lebut, serta bertahap dalam menegakkannya. Sedangkan amal-amal sunnah yang sudah bisa ditegakkanya tidak menjadi gugur karena beberapa kekurangannya dalam sebagian amal sunnah lainnya baik yang bersifat qauliyah maupun fi'liyah.
Tidak termasuk sikap bijak dan syar'i, jika karena masalah khilafiyah ini lalu tidak mau shalat bersama jama'ah. Ditakutkan nantinya jamaah akan mengangkat imam lain yang jahil dan banyak membuat tatacara ibadah baru diluar yang khilafiyah.
Maka dianjurkan bagi seorang imam untuk mengerjakan sebagian persoalan khilafiyah yang tidak sesuai dengan yang menurutnya lebih rajih, jika di dalamnya terdapat satu upaya untuk mendekatkan umat pada dakwahnya. Syaikhul Islam rahimahullah berkata, "Dan disunnahkan menjaharkan Basamalah untuk menta'lif (pendekatan kepada jama'ah) sebagaimana yang dianjurkan oleh Imam Ahmad untuk meninggalkan qunut witir untuk menta'lif makmum." (Al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah: 50)
Jika Bermakmum Kepada Imam yang Qunut
Jika bagi imam tetap dianjurkan untuk memimpin shalat manusia dengan amalan ijtihadiyah yang dipegang mereka, -walau berbeda dengan apa yang disimpulkannya dalam persoalan ijtihadiyah demi kemashlahatan syar'i -, maka bagi makmum lebih ringan. Shalatnya di belakang orang berbeda kesimpulan dalam persoalan ijtihadiyah adalah lebih baik. Apalagi kalau jelas ada kemashlahatan syar'i yang terealisir seperti untuk kerukunan, persatuan, dan semisalnya. Apalagi kalau tidak maunya shalat dibelakang imam tadi menyebabkannya tidak bisa ikut berjama'ah terus-menerus. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Dan kalaupun imam meninggalkan satu rukun yang diyakini makmum dan tidak diyakini imam: sah shalatnya (makmum) di belakang imam itu. Ia adalah satu dari dua riwayat dari Imam Ahmad, Madhab Malik, dan yang dipilih oleh al-Maqdisi."
Beliau berkata lagi, "Kalau seorang imam mengerjakan keharaman yang diyakini makmum yang boleh berijtihad di dalamnya: maka sah shalat di belakangnya, dan ia adalah pendapat yang masyhur dari Ahmad,' (Selesai dari Al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah: 70)
Oleh karena itu, bagi makmum sebaiknya mengikuti imam dalam persoalan yang boleh berijtihad. Jika imam qunut, maka ia qunut bersamanya. Dan jika tidak qunut, maka ia juga tidak qunut. Karena Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
إنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ
"Sesungguhnya dijadikan imam itu untuk diikuti." (HR. al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud) Beliau juga bersabda, "Janganlah kalian selisihi imam-imam kalian." Terdapat dalam Shahih al-Bukhari, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
يُصَلُّونَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
“Shalatlah bersama mereka. Jika mereka benar, maka (pahalanya) untuk kalian dan mereka. Jika mereka salah, maka pahalanya untuk kalian (dan) dosanya untuk mereka.” (Lihat: Majmu' Fatawa: 23/115-116)
Maka tidak boleh seseorang ragu dan meninggalkan shalat di belakang orang yang melaksanakan qunut Shubuh dan yang berbeda kesimpulan dengannya dalam perkara ijtihadiyah. Sesungguhnya orang yang meninggalkan berjama'ah hanya karena perkara ini ia telah menyalahi al-Kitab, al-Sunnah dan ijma' para sahabat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya, "Apakah sah shalat seorang makmum yang bermakmum di belakang Imam yang berbeda mazhabnya?" Beliau menjawab,
وأما صلاة الرجل خلف من يخالف مذهبه : فهذه تصح باتفاق الصحابة والتابعين لهم بإحسان ، والأئمة الأربعة ، ولكن النزاع في صورتين :
إحداهما : خلافها شاذ ، وهو ما إذا أتي الإمام بالواجبات كما يعتقده المأموم ، لكن لا يعتقد وجوبها مثل التشهد الأخير إذا فعله من لم يعتقد وجوبه ، والمأموم يعتقد وجوبه ، فهذا فيه خلاف شاذ ، والصواب الذي عليه السلف وجمهور الخلف : صحة الصلاة .
والمسألة الثانية : فيها نزاع مشهور ، إذا ترك الإمام ما يعتقد المأموم وجوبه مثل أن يترك قراءة البسملة سرّاً وجهراً ، والمأموم يعتقد وجوبها ، أو مثل أن يترك الوضوء من مس الذكر ، أو لمس النساء ، أو أكل لحم الإبل ، أو القهقهة ، أو خروج النجاسات ، أو النجاسة النادرة ، والمأموم يرى وجوب الوضوء من ذلك ، فهذا فيه قولان : أصحهما : صحة صلاة المأموم ، وهو مذهب مالك ، وأصرح الروايتين عن أحمد في مثل هذه المسائل ، وهو أحد الوجهين في مذهب الشافعي ، بل هو المنصوص عنه ، فإنه كان يصلي خلف المالكية الذين لا يقرؤون البسملة ، ومذهبه وجوب قراءتها ، والدليل على ذلك : ما رواه البخاري وغيره عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : " يصلون لكم فإن أصابوا فلكم ولهم ، وإن اخطؤوا فلكم وعليهم " فجعل خطأ الإمام عليه دون المأموم
"Adapun shalat seseorang dibelakang orang yang berbeda mazhab adalah sah berdasarkan kesepakatan para sahabat dan yang mengikuti mereka dalam kebaikan serta empat Imam. Namun pertentangan terjadi pada dua kasus: Pertama, perbedaannya itu ganjil yaitu jika seorang imam melakukan perbuatan yang wajib seperti apa yang diyakini oleh makmum namun ia tidak meyakini bahwa perbuatan tersebut adalah wajib. Misalnya Tasyahud akhir jika dilakukan oleh orang (imam) yang tidak meyakini kewajibannya sementara makmum meyakininya sebagai kewajiban. Inilah perbedaan yang ganjil. Yang benar sesuai dengan pendapat salaf dan jumhur sahabat adalah sahnya shalat tersebut.
Masalah kedua, terdapat perbedaan yang masyhur jika seorang Imam meninggalkan perbuatan yang diyakini kewajibannya oleh makmum. Misalnya Imam meninggalkan membaca bismillah sedangkan makmum meyakininya sebagai kewajiban. Atau Imam tidak berwudhu karena menyentuh kemaluan, menyentuh wanita, makan daging unta, tertawa keras, keluar banyak najis, atau najis yang jarang sedangkan makmum menganggap wajib berwudhu. Dalam hal ini ada dua pendapat: yang paling sahih adalah sahnya shalat makmum dan itu merupakan mazhab malik dan merupakan pendapat yang paling tegas diantara dua pendapat dari Imam Ahmad pada masalah-masalah seperti ini. Ini juga merupakan salah satu dari dua pendapat di dalam mazhab Syafi'i bahkan yang manshush dari Imam Syafi'i. Sesungguhnya beliau pernah shalat di belakang penganut mazhab Maliki yang tidak membaca Bismillah sedangkan mazhab beliau mewajibkannya. Dalilnya adalah apa yang diriwayatkan oleh al Bukhari dan lainnya dari Nabi Shallallaahu alaihi Wasallam, beliau bersabda: “Shalatlah bersama mereka. Jika mereka benar, maka (pahalanya) untuk kalian dan mereka. Jika mereka salah, maka pahalanya untuk kalian (dan) dosanya untuk mereka”. Beliau menjadikan kesalahan Imam sebagai tanggungan Imam sendiri berbeda dengan makmum." (Majmu' Fatawa: 23/378-379)
Al-Bahuti dalam al-Raudh al-Murbi' berkata, "Siapa yang bermakmum kepada orang yang qunut dalam shalat Shubuh, maka ia mengikuti imam dan mengaminkan." Maksudnya: Mengikutinya dalam doanya." (Hasyiyah al-Raudh: 1/220)
Ulama Lajnah Daimah berkata, "Malik menganjurkan qunut pada rakaat terakhir dari shalat Shubuh sebelum ruku'. Dan Imam Syafi'i berpendapat bahwa qunut adalah sunnah sesudah ruku' pada rakaat terakhir dari shalat Shubuh. Dan ada sekumpulan ulama salaf dan khalaf yang berpendapat seperti itu. Mereka berdalil dengan hadits al-Bara' dan yang semisalnya. Dan dijawab, Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengerjakannya pada nawazil (kasus/musibah yang menimpa umat Islam) saja lalu meninggalkannya. Hadits tersebut tidak menghususkan qunut pada shalat Shubuh, bahkan menunjukkan pensyariatannya pada shalat Maghrib dan Shubuh saat terjadi musibah. Beberapa hadits lain menunjukkan keumumannya (dikerjakan) pada semua shalat fardhu. Sedangkan mereka menghususkan qunut pada shalat Shubuh dan berpendapat dikerjakan terus menerus.
Mereka juga berdalil dengan riwayat, "Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam senantiasa melakukan qunut pada shalat Shubuh sampai beliau wafat." Dijawab: Redaksi ini disebutkan di beberapa hadits, tapi statusnya dhaif. Karena dia berasal dari jalur Abu Ja'far al-Raazi, di mana Abdullah bin Ahmad berkata tentangnya, "Tidak kuat (hafalannya)." Ali al-Madini berkata, "dia kacau hafalannya." Amru bin Ali al-Fallash berkata, "orang jujur namun buruk hafalannya." Ada beberapa orang yang mengambil riwayat darinya yang juga mengambil riwayat dari para imam lain karena rekomendasi sebagian dari ulama jarh wa ta'dil terhadap Abu Ja'far al-Razi dan adanya beberapa penguat dari beberapa hadits lain. Tetapi dalam sanad hadits penguat tadi terdapat Amru bin 'Ubaid al-Qadari, ia bukan hujah.
Pada intinya, menghususkan shalat Shubuh dengan qunut termasuk masalah khilafiyah dan ijtihadiyah. Maka siapa shalat di belakang imam yang qunut pada shalat Shubuh saja sebelum ruku' atau sesudahnya, maka mendaknya mengikutinya, walaupun yang kuat adalah mengerjakan qunut pada semua shalat fardhu saat terjadi musibah saja. (Syaikh Abdurrazaq 'Afifi, Syaikh Abdullah bin Ghadiyan, Syaikh Abdullah bin Manii', "Fatawa al-Lajnah al-Daimah: 7/42-45)
Kesimpulan
Dari penjelasan tentang qunut shubuh di atas, maka sikap dan keputusan yang diambil penanya sudah benar. Apalagi kalau pilihan tersebut didasarkan untuk menghindari fitnah antar sesama muslim. Sesungguhnya masalah ini adalah masalah khilafiyah, sejak zaman dahulu ulama sudah berbeda pendapat tentangnya. Oleh karena itu perselisihan terhadap persoalan ini janganlah dibesar-besarkan, apalagi sampai merusak ukhuwah islamiyah. Karena rusaknya hubungan sesama muslim itu lebih besar daripada, -seandainya salah- dalam mengambil ijtihad ini. Walau demikian, bagi pribadi hendaknya terus mencari yang lebih benar untuk diambil dan diamalkan. Namun tidak boleh sampai pada tahap merasa paling benar dan menyalah-nyalahkan pada pihak lain yang berbeda pendapat dalam persoalan ijtihad ini. Apalagi sampai mengklaim shalatnya tidak sah dan tidak diterima oleh Allah Ta'ala.
Dalam kitab Maa Laa Yasa’ al-Muslima Jahluhu, hal. 127 disebutkan salah satu prinsip dalam berislam, "Kita juga meyakini bahwa persoalan-persoalan ijtihadiyah –yaitu setiap persoalan yang tidak memiliki dalil tegas yang ditunjukkan oleh nash atau ijma yang shahih- bukan termasuk pengikat al-wala’ dan bara’. Orang yang berbeda pendapat dalam masalah ini, tidak boleh dikucilkan. Sementara sikapnya tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk mencela status agama, selama sikapnya tersebut bersumber dari ijtihad atau taklid yang dibenarkan.
Jama’ah (persatuan) kaum muslimin tidak boleh terpecah hanya karena perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’iyah ini. Walaupun hal ini tidak boleh menjadi halangan bagi seseorang untuk melakukan penelitian ilmiah dalam masalah ini, dengan harapan mendapatkan kebenaran hakiki. Tetapi dengan catatan jangan sampai menimbulkan debat kusir dan fanatisme." Hadanallahu Waiyyakum Ajma'in. [PurWD/voa-islam.com]
Oleh: Badrul Tamam
Sumber: Voa Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Comment