Selasa, 05 Juli 2011

Menyerang Orientalis di Sarangnya (DR. Syamsuddin Arif)

Para orientalis tak pernah kehabisan akal menyerang kaum Muslim dengan keyakinannya. Mereka mengkaji Islam secara mendalam, lalu menyebarkan hasilnya ke negara-negara Muslim, termasuk Indonesia. Tujuannya tak lain untuk menyesatkan pemahaman kaum Muslim akan keyakinannya.

Orientalis Yahudi, Patrica Croen dan Michael Cook, sebagai contoh. Mereka kerap menyebut Islam sebagai agama hagarism, yang berarti agama para budak, dalam beberapa karyanya. Nama hagarism sendiri dikaitkan dengan Hajar, isteri Nabi Ibrahim 'Alaihissalam.

Mereka juga menyebut hukum Islam itu buatan para tabi’in, bukan berasal dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Celakanya, menurut Dr Syamsuddin Arif, pakar orientalis dari International Islamic University Malaysia (IIUM), banyak sarjana Muslim, baik yang belajar di Timur Tengah maupun Barat, menelan mentah-mentah pendapat para orientalis tersebut. Parahnya lagi, tak sedikit yang terang-terangan mendukung mereka.


Ia memberi contoh para sarjana Muslim alumnus kampus-kampus Islam seperti Universitas Islam Negeri (UIN) dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Mereka banyak mengambil referensi dari kajian para orientalis itu.

Akibatnya, banyak mahasiswa yang belajar al-Qur`an tetapi bangga menjadi pengkritik al-Qur`an. Banyak mahasiswa yang belajar sejarah Islam tetapi alergi dengan sejarah Islam. Banyak yang belajar syariah tetapi membenci syariah. “Ini karena cara belajar dan buku yang dipelajarinya memang sudah mengikuti metodologi kaum orientalis,” terangnya .

Padahal metodologi yang dipakai kaum orientalis dalam mengkaji Islam penuh dengan kelemahan. Syamsuddin bisa memastikan hal tersebut karena ia sendiri saat ini sedang menyelesaikan program doktor keduanya di Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt Jerman, sarangnya para orientalis. Sebagian besar gurunya adalah para orientalis kelas dunia.

Meski belajar langsung di lembaga orientalis dan dengan dedengkot orientalis, Syamsuddin tidak terpengaruh pemikiran mereka. Sebaliknya, ia malah bersikap sangat kritis dan mampu menunjukkan kelemahan metodologi yang dipakai oleh mereka.

Untuk mengetahui lebih jauh seperti apa metodologi para orientalis dalam mengkaji Islam serta di mana kekeliruannya, wartawan Suara Hidayatullah, Bahrul Ulum, mewancarai penulis buku Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran ini dalam dua kesempatan: di Surabaya, Jawa Timur, dan dilanjutkan di Solo, Jawa Tengah.

Bagaimana metodologi kaum orientalis dalam mengkaji Islam?
Ada beberapa pendekatan yang mereka lakukan. Salah satunya adalah pendekatan sejarah atau biasa disebut historical approuch atau historical criticsm.

Maksud pendekatan ini adalah mengkaji sejarah secara kritis. Mereka mengatakan bahwa suatu dokumen harus dipelajari sebagaimana ahli anatomi memperlakukan mayat.
Yang dimaksud dokumen di sini adalah sesuatu yang tertulis, bukan yang diucapkan. Karena itu, tradisi dokumen dianggap tidak berhubungan dengan tradisi oral atau lisan. Fokus kajiannya hanya pada teks (written document).

Kajian seperti ini pertama kali diterapkan pada Bible. Dalam kajian tersebut terlebih dulu mereka mencari naskah aslinya. Setelah itu isinya ditelaah dan kemudian dicari pembuktiannya.

Sebagai contoh, tahun 50-an ditemukan sebuah naskah Bible di sebuah gua di dekat Laut Mati yang yang kemudian dikenal dengan sebutan Naskah Laut Mati. Dalam naskah tersebut disebutkan bahwa Nabi Musa 'Alaihissalam bersama pengikutnya eksodus dari Mesir melalui laut merah. Dari sinilah kemudian mereka ingin membuktikan kebenaran cerita tersebut dengan melakukan kajian arkeologi.

Jika ternyata secara arkeologi tidak ditemukan bukti-bukti yang mendukung, mereka tidak akan percaya dengan kitab itu. Jadi, semua cerita yang ada dalam kitab suci harus diragukan dulu dan tidak boleh dipercaya. Isi kitab suci harus dipercayai sebagai mitos.

Karenanya pelaku studi ini harus tidak percaya dulu dengan obyeknya. Jika obyek itu agama, maka ia harus meninggalkan agamanya dulu, alias kafir. Ini kan berbahaya.

Kalau ini juga diikuti oleh para sarjana Muslim, risikonya jelas sangat besar. Saat mereka melepaskan keyakinannya terhadap Islam, lalu meninggal, maka ia menjadi murtad. Ini sangat berbahaya.

Berarti metodologi itu bermasalah?
Oh jelas, karena itu perlu ada meta-method, yaitu kritik terhadap metode tersebut. Metode ini harus dikritisi karena ia sendiri diragukan kebenarannya.
Metode itu kan hanya menfokuskan pada obyektivitas, kemudian butuh pembuktian. Padahal ketiadaan bukti bukan berarti bukti tidak ada.

Sebagai contoh, kita percaya bahwa kita punya otak. Tapi, jika kita disuruh membuktikan keberadaan otak kita, itu namanya bunuh diri. Mana mungkin kita mengeluarkan otak kita.
Contoh lain, ada seorang ibu hamil tua yang terdampar di sebuah pulau kemudian melahirkan seorang anak. Setelah anak itu besar, si ibu berkata pada anak itu bahwa ia darah dagingnya. Tapi, anaknya menolak dengan alasan tidak ada bukti luar yang menunjukkan bahwa ia adalah anak si ibu itu. Ini kan namanya kacau. Jadi metode itu harus dikritisi.

Selain soal pembuktian kebenaran, apa kelemahan lain metodologi ini?
Dari sisi niat sudah tidak betul. Mereka berangkat dari keragu-raguan, sehingga berakhirnya juga dengan keragu-raguan. Karena menurut mereka sesuatu itu tidak ada yang absolut atau pasti, tetapi relatif.
Selain itu mereka lebih mengandalkan metode filologi, yaitu studi naskah. Ini disebabkan mereka tidak punya sanad. Akibatnya, mereka tidak punya otoritas.

Misalnya, soal Shahih Bukhari, mereka masih meraba-raba. Berbeda dengan Ibn Hajar al-‘Asqalani yang punya sanad langsung ke Bukhori.

Mengapa orang Islam banyak yang terpikat dengan studi yang dilakukan para orientalis?
Keunggulan studi orientalis terletak pada budaya kritis mereka. Budaya ini yang kemudian menimbulkan gairah sehingga ada dinamika.

Tapi, budaya kritis itu sebenarnya sudah ada dalam tradisi intelektual Muslim. Bahkan, sudah berlangsung sejak lama.

Tradisi kritis itu, misalnya, kalau ada ulama yang menulis buku selalu ada yang mensyarah, menulis komentar, menjelaskan, atau menjabarkan. Selain itu ada pula yang menyanggah (al-radd) atau mengkritik. Sayangnya, tradisi seperti itu sekarang sudah berkurang kecuali di Mesir.

Di Barat, kajian Islam menjadi menarik karena ada dinamika. Misalnya, pada sebuah seminar di Frankurt, Jerman, ada seorang profesor membaca kitab Ta’lim al-Muta’alim. Tapi, sebelum kitab tersebut dibahas, mereka melakukan survei sejarah dan literatur, baru masuk ke isi Ta’lim al-Muta’alim untuk dianalisis.
Modelnya seperti bedah ayat. Satu demi satu dibedah, baik secara filologi dan lainnya, serta dikaitkan dengan konteks modern.

Ini berbeda dengan model pembelajaran di pesantren. Saat membaca kitab Ta’lim al-Muta’alim yang memuat syair-syair berbahasa Parsi, ustadz yang mengajar tak tahu persis bahasa Parsi. Inilah kekurangan dan kelemahan kita. Bahkan terjemahan-terjemahan dalam bahasa Indonesia tidak sedikit yang keliru.

Apakah itu berarti metodologi para orientalis ini masih memiliki sisi unggul?
Itu relatif. Sebab, dari kompetensi, ulama-ulama Universitas al-Azhar (Kairo) jauh lebih unggul. Sementara mereka (orentalis) masih meraba-raba.

Jadi, sebenarnya mereka tidak punya otoritas. Mestinya kita memandang orientalis dengan sebelah mata. Sayangnya umat Islam kelihatannya sedang kehilangan izzah.

Kita merasa minder. Buku karya orang Barat justru kita baca. Tapi, buku-buku ulama kita sendiri kurang kita apresiasi. Padahal seharusnya wa antum ‘alwn in kuntum mu’minin (dan derajatmu lebih tinggi jika kamu beriman).

Sejauh mana perkembangan studi Islam oleh orientalis saat ini?
Kaum orientalis kian intensif mengkaji Islam dan masyarakat Islam. Sekarang ini telah bermunculan studi-studi Islam di Barat, terutama di Amerika Serikat setelah peristiwa 11 September (11/9). Buku-buku tentang Islam banyak sekali bermunculan dan menjamur.

Baru-baru ini terbit sebuah buku pengantar (pengenalan Islam) untuk mahasiswa yang diterbikan oleh Yale University. Padahal, selama ini belum pernah universitas sekelas Yale menerbitkan buku seperti itu.

Apakah hal itu berarti menguntungkan Islam?
Di satu sisi ini menggembirakan. Tapi, di sisi lain memprihatinkan. Kondisi seperti ini mengingatkan apa yang pernah dikatakan Karl Marx, they are representating as, mereka (kaum orientalis) mewakili kita (Muslim). Mereka menjadi juru bicara kita. Mereka yang menjelaskan siapa kita dan agama kita.

Awalnya mereka menjelaskan kepada orang-orang mereka sendiri lewat buku-buku yang mereka terbitkan. Namun, buku-buku itu juga dibaca oleh minoritas Muslim di sana.

Seharusnya ulama juga menulis buku serupa tentang Islam yang tampilannya sama menarik dengan buku yang dibuat kaum orientalis itu.

Menepis Kekhawatiran Tak Bisa Kritis
Syamsuddin Arif lahir di Jakarta 19 Agustus 1971. Putra Betawi (Jakarta) asli ini menghabiskan masa kecilnya di Jakarta.

Lulus Sekolah Dasar ia melanjutkan pendidikannya ke Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur.

Selesai menimba ilmu di Gontor tahun 1989 ia mengaji dan mengabdi di Majelis Qurra’ wa Al Huffaz di Sulawesi selama dua tahun. Di sana ia berhasil menghafal al-Qur`an 30 juz. Kemudian ia menempuh program sarjana (S1) di Universitas Islam Antar-Bangsa (UIA) Malaysia jurusan komunikasi.

"Jurusan komunikasi di Indonesia lebih maju dibanding di Malaysia,” terangnya. Ini karena iklim kebebasan pers di Indonesia jauh lebih maju dibanding di Malaysia.

Lulus dari sana ia ingin melanjutkan studinya ke Eropa. Namun, sebelum berangkat, terlebih dulu ia berkonsultasi kepada dosennya. Ia sampaikan keinginannya untuk mendalami hermenutika.
Rupanya dosennya tidak setuju. Sebab, ilmu tersebut tidak akan banyak membawa manfaat. Niat itu akhirnya ia urungkan.

Syamsuddin kemudian meneruskan kuliah ke ISTAC (Institute of Islamic Thought and Civilization). Di kampus ini ia mengaku banyak belajar dari Shaikh Naquib Al-Attas, pimpinan ISTAC saat itu.

Menurut Syamsuddin, ISTAC tak kalah berbobotnya dengan perguruan tinggi di Barat. Di kampus ini semua mahasiswa wajib mempelajari dan menguasai minimal dua bahasa, Arab dan Persi, yang ditawarkan setiap semester, ditambah bahasa-bahasa Eropa selain Inggris seperti Greek, Latin, Perancis, dan Jerman.
Sarana riset, terutama perpustakaan, juga tak kalah dengan perguruan tinggi di Barat. Bahkan, koleksi perpustkaan ISTAC paling lengkap di Asia Tenggara.

Di kampus ini Syamsuddin menyelesaikan S2 di bawah bimbingan Alparslan Acikgenc dengan tesisnya berjudul ‘Ibn Sina’s Theory of Intuition’.

Program Phd juga ia tempuh di lembaga yang sama. Ia berhasil menyelesaikan program doktornya pada tahun 2004 dengan disertasi berjudul Ibn Sina’s Cosmology: A Study of the Appropriation of Greek Philosophical Ideas in 11th Century Islam di bawah bimbingan Paul Lettinck.

Tidak puas menyandang satu gelar doktor, ia mengambil lagi gelar yang sama di Orientalisches Seminar, Johann Wolfgang Goethe, Frankfurt University, Jerman. “Saya berani kuliah di Jerman setelah merasa cukup memiliki bekal iman dan ilmu,” jelas pria berambut lurus ini.

Awalnya, kepergiannya ke Jerman sempat dikritik oleh teman-temannya, termasuk gurunya Prof Wan Daud. Mereka khawatir Syamsuddin tak bisa bersikap kritis.

Namun, keraguan itu ia tepis. Ia tetap kritis kepada para orientalis. Bagi Syamsuddin, dirinya tidak akan mengikuti langkah-langkah dosennya yang orientalis. Sebab, mereka sendiri sudah ragu dengan agama dan Kitab Suci mereka. “Mana mungkin saya ikut orang seperti itu?” terang ayah tiga putra ini.
Bahkan, bukan cuma itu. Ia juga berani mengupas secara tuntas metodologi orientalis dalam mengkaji Islam. Ia mengajak kaum Muslim supaya memahami hakikat mendalam mengenai usaha orientalis yang selalu mencari ruang untuk merobek kesucian agama Islam.

Orientalis digambarkan oleh Syamsuddin sebagai orang yang cemburu dengan keotentikan ajaran Islam. Mereka sendiri –Yahudi dan Kristen– tidak memiliki keotentikan itu. Ajaran mereka telah dicemari tangan manusia.

Syamsuddin termasuk salah satu cendekiawan Muslim yang menguasai banyak bahasa. Selain fasih menguasai bahasa Arab dan Inggris, ia juga piawai menggunakan bahasa Latin dan Yunani. Sewaktu di Jerman, di tengah-tengah kesibukan penelitiannya, ia juga menekuni bahasa Hebrew dan Syriac.
Ia juga aktif mengisi kajian di berbagai komunitas Muslim Eropa seperti di KIBAR dan kajian keislaman di radio kemunitas Muslim Eropa.

Kini Syamsuddin mengajar di International Islamic University Malaysia (IIUM) dan bermukim di negeri jiran itu.
Meski berada di negeri orang, keinginnya untuk kembali ke tanah air sangat kuat. Menurut pengakuannya, suatu saat kelak ia akan kembali ke tanah air. “Insya Allah saya akan kembali ke Indonesia,” jelasnya. ***

Belajar ke Barat, Iman Harus Kuat
Saat ini bangsa Barat gencar mengundang mahasiswa Muslim belajar Islam ke negara mereka. Tentu saja gerakan ini tak lepas dari agenda para orientalis mengubah pandangan kaum Muslim terhadap agamanya.
“Barat menginginkan orang Islam memahami Islam sebagaimana mereka memahami Islam,” jelas Syamsuddin.
Ironisnya, tawaran tersebut disambut sangat baik oleh para sarjana Muslim. Mereka berlomba-lomba mendapatkan beasiswa untuk belajar ke Barat.

“Sebenarnya hal itu tidak ada masalah jika mereka membekali diri dengan ilmu dan iman yang kuat,” terang dosen Universitas Islam Antar Bangsa Malaysia ini.

Yang menjadi persoalan, jika mereka ignorant, jahil terhadap agamanya sendiri, dan buta akan tradisi intelektual Islam. Apalagi kalau sudah kemasukan inferiority complex alias minder, sehingga mudah sekali terpukau dan terpengaruh oleh hasil kajian islamolog Barat.

Menurut Syamsuddin, kampus-kampus di Barat mempelajari Islam dengan framework (cara berfikir) orientalis. Framework tersebut begitu detail dan rumit. Kalau tidak cermat, orang tak akan menyadarinya. Padahal, cara orientalis mempelajari Islam sangat berbahaya. Mereka mempelajari Islam bukan untuk mencari kebenaran, melainkan semata-mata untuk ilmu.

“Islam tidak dipelajari berdasarkan iman. Bertambahnya ilmu tidak menjadikan bertambahnya iman. Bahkan sebaliknya, dapat makin menjauhkan orang dari Tuhan,” ulas Syamsuddin.

Orang Islam yang belajar Islam dengan menggunakan framework orientalis akan menjadi Muslim yang kritis terhadap tradisi intelektual Islam, tetapi apresiatif terhadap tradisi intelektual Barat.

Perubahan cara pandang ini pada akhirnya akan mengubah banyak hal, termasuk cara berfikir dan cara berislam. Karena itu, menurut Syamsuddin, efek negatif belajar Islam di Barat adalah orang bisa menjadi skeptis (senantiasa meragukan), agnostik (selalu mencari tapi tidak pernah menemukan), pedantik (cenderung berbelit-belit), dan reduksionistik (suka mengerucutkan permasalahan).

Menurut Anda, perlukah kaum Muslim belajar studi Islam di Barat?
Menurut saya, tetap perlu. Tetapi, sebelum pergi ke sana, harus punya bekal yang matang. Yang bersangkutan harus diikat dengan niat dan syarat yang jelas.

Niatnya meningkatkan pengetahuan, menambah pengalaman, dan memperluas wawasan lillahi ta’ala (demi meraih ridho Allah), bukan li-dun-ya yushibuha (demi mendapatkan dunia).

Kita harus akui bahwa Barat unggul dalam metodologi riset yang biasa disebut technique of scholarship. Metode ini menggabungkan penguasaan bahasa, budaya, dan sejarah, dengan kecakapan filologi dan ketajaman analisis falsafi. Adapun syaratnya, yang bersangkutan harus sudah matang dulu secara intelektual maupun spiritual.

Apakah karena alasan Barat unggul dalam metolodogi kemudian Anda juga belajar ke sana?
Itu yang pertama. Selama ini banyak orang beranggapan studi Islam di Barat lebih unggul dibanding Timur Tengah, terutama dalam hal metodologi. Nah, saya ingin membuktikan sendiri sejauh mana kebenaran asumsi tersebut. Apakah itu kenyataan atau mitos belaka?
Kedua, saya juga ingin membuktikan apakah benar yang sering dikatakan selama ini bahwa orientalis Islam ingin menghancurkan Islam. Hemat saya, agar tidak dituduh apriori oleh para pengikut orientalis, saya harus memiliki pengalaman sendiri. Ini penting supaya tidak terkena peribahasa man jahila syay’an ‘adahu, orang yang belum mengenal sesuatu cenderung memusuhinya.

Terakhir, untuk legimitasi dan otoritas. Sebab, disadari atau tidak, bangsa kita masih percaya bahwa lulusan Barat lebih paham dan menguasai akan banyak hal. Lebih berkualitas dibanding lulusan dalam negeri atau Timur Tengah.

Karena itu, menurut saya, ada untungnya kalau kita pernah studi di Barat, terutama ketika menghadapi para pengagum Barat yang arogan dan merasa superior. Kata Hadits, sombong kepada orang yang sombong adalah sedekah.

Apa yang Anda pelajari di sana?
Semula saya ingin belajar paleografi dan filologi bahasa Arab, khususnya yang berkaitan dengan teknik dan seluk beluk penyuntingan manuskrip. Handsschrifkunde, istilahnya. Sekaligus mempelajari metodologi riset orientalis.

Untuk itu saya berniat mengedit kitab Abkar al-Afkar karya Saifudin Al-Amidi yang juga pengarang kitab al-Ihkam fi Ushulil –Ahkam. Jadi, dirasah wa tahqiq.

Sebagian besar manuskripnya sudah saya teliti waktu di Istanbul. Namun, rencana tersebut berubah. Sebab, belakangan saya dapat info ternyata kitab tersebut sudah diterbitkan di Kairo.
Akhirnya saya memutuskan untuk mengkaji satu bagian saja dari kitab tersebut, yakni qaidah ke-4, seputar masalah-masalah teologi. Saya beruntung karena pembimbing saya, Profesor Hands Daiber, tidak mempersoalkan topik dan judul yang saya pilih.

Anda belajar kepada orietalis. Apa tidak takut terpengaruh?
Kalau pengaruh positif, seperti keseriusan dan ketelitian dalam mengkaji sebuah masalah, justru saya harapkan. Dalam hal ini saya harus belajar banyak pada mereka. Dalam menganalisa sebuah masalah mereka betul-betul all-out dan tidak kenal lelah. Ini kan sangat positif.

Tapi, jika pengaruh negatif, seperti sikap arogan, double-standard, pedantik, reduksionistik, bias, dan lain sebagainya, yang melatarbelakangi berbagai asumsi dan pendapat mereka, tentu saya berharap tidak.
Memang harus kita akui banyak di kalangan kaum Muslim yang terpengaruh bahkan mengusung dan menyebarkan pikiran-pikiran dan gagasan mereka. Namun yang kritis terhadap orientalis juga banyak. Contohnya, Syaikh Abdul Halim Mahmud lulusan Sorbone, Mustafa A’zami dari Cambridge, atau Syed Naquib Al-Attas lulusan London.

Jadi, masalah terpengaruh atau tidak, menurut saya, tergantung orangnya. Kalau kita ignorant, tidak mengerti tentang agama kita sendiri, apalagi sampai mengidap penyakit minder terhadap Barat, tentu mudah sekali terpengaruh dan terpukau oleh mereka.

Pendek kata jangan seperti istri Aladdin (dongeng Lampu Ajaib), menukar lampu lama dengan lampu baru yang dijajakan oleh tukang sihir.

Faktanya, beberapa orang malah mengaku menemukan Islam di Barat. Bagaimana komentar Anda?
Saya kira itu ungkapan frustasi yang berlebihan. Sebuah jawaban untuk pertanyaan yang telah menggangu para pemikir Muslim dari mulai Abduh, Iqbal, Rahman, hingga al-Attas: limaadza ta’akhkhara l-muslimun wa taqaddama ghayruhum? Mengapa umat Islam tertinggal, sementara umat-umat lain maju pesat?
Keterbelakangan umat bukan disebabkan oleh ajaran Islam, sebagaimana kemajuan Barat bukan dikarenakan agamanya, tapi karena kebersihannya, kesehatannya, ketertibannya, mentalitasnya, disiplinnya, kejujurannya, dan kerja kerasnya.

Menurut Anda, apakah studi Islam di Barat selalu kental misi orientalisme?
Saya tidak ingin memukul-rata. Namun, pada banyak kasus memang tak dapat dipisahkan dari agenda-agenda tertentu yang jelas berpihak pada kepentingan politik, ekonomi, dan budaya mereka. Misalnya, kasus imperialisme (penjajahan). Hal ini dapat dimaklumi dan terlalu naif untuk kita pungkiri.

Menurut pengamatan Anda, sikap orientalis terhadap Islam seperti apa?
Mereka itu ada yang halus dan ada yang kasar (dalam memusuhi Islam). Kalau yang halus seperti profesor saya. Ia mengatakan, meskipun kami tidak sependapat dengan orang Islam, kami tetap harus menjaga hati orang Islam, jangan melukai hati mereka.

Yang halus seperti ini biasanya diungkap dengan bahasa diplomatis. Kalau di Inggris ada Montogomerry Wat dan di Jerman ada Annimarie Schimmmel.

Schimmel sendiri, karena begitu simpatiknya terhadap Islam, dikenal sebagai ahli Pakistan, India, Parsia, dan sufistik Timur. Ia pernah dianugerahi Pen Award, anugerah penulis internasional berbasis di Perancis.

Ketika diwawancarai tentang Salman Rushdie, ia bilang, Salman itu salah. Menurutnya, tindakan si penulis buku Ayat–ayat Setan (The Stanic Verses) itu tidak bisa dibenarkan. Sebab, itu melukai hati orang Islam. Akibat komentarnya itu, ia diprotes. Seketika itu pula penghargaan yang ia terima ditarik.

Memang ada yang bilang Schimmel sudah masuk Islam. Tapi, bukan itu yang penting. Sikap dan komentar dia yang mengatakan Salman Rushdie itu salah dan melukai umat Islam lah yang menarik. Di sini bukti bahwa memang ada ketegangan antara umat Islam dan Kristen. hidayatullah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment

Linkwithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...